26. Pertandingan

179 23 0
                                    


Seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian staf dan ber-tag pelatih berbisik pada laki-laki yang kini tengah sibuk mengenakan pelindung kepala. “Lawan kamu kali ini bukan main-main. Kamu harus selalu fokus.”

“Aku kenal dia lebih baik dari semua lawanku sebelumnya. Sabeum tenang aja. Aku paham betul taktik dan jenis serangan apa yang biasa dia pakai.”

Pria paruh baya itu meletakkan kedua tangannya di bahu laki-laki itu dan mengunci tatapannya. “Ingat satu hal, tujuan kamu ada disini adalah untuk menang.”

“Yee, Sabeum-nim.”

“Sudah siap?” Staf lain yang mengenakan tag manajer bertanya sambil menatap laki-laki berkulit pucat itu dari atas hingga bawah untuk memastikan semua peralatan pelindung sudah terpasang dengan baik.

Laki-laki itu mengangguk.

Pria berlesung pipi dengan pakaian dan peralatan pelindung berwarna biru itu memasuki arena pertandingan. Ia sempat melemparkan senyum pada lawan sebelum penghormatan resmi, tetapi sapanya diabaikan.

Setelah sesi penghormatan yang diisi dengan adegan membungkuk 90 derajat, kedua taekwondoin yang berdiri saling berhadapan itu bertukar tatap. Dari tatapan keduanya, ada ketegangan dan kilatan emosi yang sulit dijelaskan.

"Joonbi." Wasit menoleh pada kedua taekwondoin. "Shijak."

Lawan menyerang lebih dulu. Tendangan yang dilayangkan berhasil mendarat di pelindung badan yang mengikat laki-laki berlesung pipi itu. Setelah menerima satu serangan, ia mulai melancarkan aksi untuk menyerang bagian kepala lawan yang dilindungi headguard. Serangan pertama berhasil, tetapi hal itu membuat situasi semakin panas. Lawan kembali melakukan serangan bertubi-tubi.

"Kalyeo." Wasit memberikan break selama satu menit. Masing-masing taekwondoin menuju sudut arena.

"Kamu tertinggal poin. Serangan bertubi-tubi tadi menghasilkan banyak poin. Fokus!" Pelatih yang langsung menyambut laki-laki itu memberi arahan dengan emosi yang membara.

Pertandingan kembali dilanjutkan. Laki-laki berkulit pucat itu mulai menguasai pertandingan. Serangan demi serangan yang ditujukan ke badan dan kepala, berhasil dilakukan dengan baik. Pundi-pundi poin terus bertambah. Waktu dua menit berlalu begitu saja.

"Oy, masih ingat saya?" Sang lawan yang mengenakan perlengkapan berwarna merah berseru.

Laki-laki berkulit pucat itu tertawa. "Siapa yang bisa lupa sama saingan abadinya?"

"Kali ini saya bakal menang." Seruan kali ini terdengar lebih berani.

"Maaf, saya punya janji sama seseorang untuk menang."

Wasit kembali memberikan aba-aba untuk memulai pertandingan. Kecepatan serangan laki-laki yang mengenakan perlengkapan biru itu meningkat. Pukulan dan tendangannya semakin tajam. Sebuah tendangan memutar berhasil menumbangkan lawan dan membuat sudut bibirnya berdarah.

Setelah tendangan itu, lawan mampu kembali bangkit, tetapi serangan kedua pada kepala berhasil membuat knock out. Wasit segera memutuskan pemenang begitu lawan tidak berhasil bangkit. Sorakan penonton semakin riuh.  Staf sudah saling berpelukan. Namun, laki-laki yang mengenakan perlengkapan biru itu malah berjalan mendekati lawan dan mengulurkan tangannya untuk membantu.

"Lo masih sehebat itu, Yohan."

Uluran tangan itu malah dibalas senyuman. "Lo tambah hebat, Juna."

"Gue udah tepati janji gue. Luar biasa rasanya tanding sama sahabat sendiri." Juna menepuk pundak Yohan.

"Thanks, lo udah mau berjuang bareng sama gue." Yohan memeluk Juna singkat. Selama pelukan, Yohan berbisik. "Ada satu lagi janji yang belom lo tepati."

"Apa?" Pelukan mereka terlepas.

"Tembak Ara." Yohan melambai ke arah Ara yang membawa papan sporter berisi kedua nama mereka.

"Setelah ini, gue bakal tembak dia." Juna turut melambai pada Ara.

Juna dan Yohan saling merangkul untuk mengakhiri pertandingan itu.

Keluargaku ter-Taekwondo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang