Seumur hidupnya, Juna tidak pernah mengalami hal mengejutkan yang membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Kejadian malam itu masih bisa ia ingat dengan jelas. Kata-kata yang diucapkan Ayah tentangnya juga bisa ia dengar dengan jelas. Juna tidak pernah menduga kalau dampak dari satu kalimat yang diucapkan pria paruh baya itu bisa membuat seolah kepalanya terbentur keras.
Beberapa kali Juna merasa kalau kekhawatiran Ayah sangat berlebihan, kini ia merasa tidak pantas mendapatkan perhatian itu. Suasana yang riuh tidak mempengaruhi lamunan Juna. Memori lama miliknya masih terus berputar tanpa memedulikan sekitar.
Kenangan itu diawali dengan kejadian beberapa bulan lalu.
"Gimana, hari ini?"
Juna menghentikan kegiatannya, kemudian ia tersenyum. Senyum laki-laki itu menghasilkan dua lesung pipi yang tercetak dalam, serupa dengan milik Ayah. "Ayah tadi lihat? Aku berhasil nenangin anak kecil yang nangis."
Ayah tertawa kecil. "Kalau lihat anak tadi, Ayah jadi ingat kamu waktu kecil."
Senyum di wajah Juna tiba-tiba menghilang. "Jangan bilang kalau dulu aku cengeng?"
Tawa Ayah menggema. "Kejadiannya mirip banget sama tadi. Dari kecil, kamu tuh, orangnya nggak mau kalah. Begitu kalah, langsung nangis."
Wajah Juna memerah. Untung saja anak didiknya sudah dibubarkan dan rekannya juga sudah pamit lebih dulu. Jadi, Juna hanya menanggung malu ini sendirian. "Aku enggak ingat. Ayah, jangan ngarang, deh."
"Tanya sama Bunda kamu sana. Pertama kali kamu tanding di dojang, kamu kalah. Bukannya langsung bangkit buat melawan, kamu malah langsung lari buat meluk Ayah. Mana larinya sambil nangis, bikin malu Ayah aja." Ayah bercerita dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya.
Wajah Juna berubah masam. "Ayah, udah, ih. Malu tahu, kalau didengar Sabeum lain gimana?"
Ayah kembali tertawa. "Lho, memang kenyataannya gitu."
Juna melanjutkan kegiatannya dan mengabaikan Ayah yang masih tertawa di sampingnya. Laki-laki yang sudah melepaskan sabuk itu berjalan sambil menghentakkan kakinya di matras. Menghentakkan kaki ketika kesal sudah jadi kebiasaan Juna sejak kecil.
"Masa gitu aja ngambek." Ayah berseru, tetapi Juna masih melanjutkan langkahnya tanpa menoleh. "Nanti makan siang sama Ayah, deh. Ayah yang traktir."
Kata-kata Ayah berhasil membuat laki-laki yang menghentakkan kaki berbalik. "Mie ayam depan dojang. Dua porsi, oke?"
"Wah, kamu benar-benar mirip Bunda kalau soal makanan. Dikasih hati malah minta jantung."
Juna menyeringai. "Aku laporin Bunda, lho."
"Oke, Ayah tunggu di depan."
Juna tidak selalu sedekat ini dengan Ayah. Masa pubertasnya dulu membuatnya hampir memutuskan hubungan dengan Ayah, tetapi Juna selalu kembali dan Ayah selalu bisa menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Ficción GeneralArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...