Ayah pernah bilang kalau kemenangan itu berasal dari usaha keras. Ketika juna kalah, Ayah sering bilang kalau usaha Juna belum maksimal. Padahal Juna sudah berlatih sekeras mungkin, tetapi ada kalanya ia tetap kalah. Kini Juna ingin mengaplikasikan pelajaran berharga dari Ayah.
Sepulang sekolah, Juna langsung ke dojang. Tentu saja setelah ia melaksanakan tugas untuk menjadi ojek pribadi Ara. Lagi-lagi parkiran dojang nyaris kosong. Juna hanya melihat satu motor yang ada di sana. Setelah memarkirkan motornya, ia langsung menuju pintu masuk. Tulisan 'TUTUP' pada selembar kertas itu masih ada di sana.
Mengingat kejadian kemarin, Juna jadi lebih berhati-hati. Ia tidak langsung masuk, kini ia mengetuk pintu hingga buku jarinya sakit. Setelah setengah jam tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya Juna memilih untuk duduk di depan pintu masuk dojang.
Ketika Juna duduk di depan dojang, ia bisa melihat kedai mie yang ada di seberang jalan. Mau tidak mau ingatan masa lalu kembali berputar di kepalanya.
"Masa gitu aja ngambek." Ayah berseru, tetapi Juna masih melanjutkan langkahnya tanpa menoleh. "Nanti makan siang sama Ayah, deh. Ayah yang traktir."
Kata-kata Ayah berhasil membuat laki-laki yang menghentakkan kaki berbalik. "Mie ayam depan dojang. Dua porsi, oke?"
"Wah, kamu benar-benar mirip Bunda kalau soal makanan. Dikasih hati malah minta jantung."
Juna menyeringai. "Aku laporin Bunda, lho."
"Oke, Ayah tunggu di depan."
Pasangan ayah dan anak itu melewati Juna begitu saja. Meninggalkannya sendiri dalam sepi. Juna masih duduk di sana. Menyandarkan tubuhnya ke tembok yang ada tepat di samping pintu masuk. Kaki kanannya terlipat dan kaki kirinya diluruskan. Tanpa terasa, waktu berlalu cepat. Setiap lima belas menit sekali, Juna masih mengetuk pintu itu setidaknya selama sepuluh menit. Hal itu ia lakukan hingga petang menjemput.
Juna yang sedari pagi perutnya tidak diisi, cacing-cacingnya mulai melakukan demo. Bahkan ia juga bisa mendengar suara dari perutnya. Tidak mau menyerah, Juna berniat membeli untuk makan di kedai mie seberang dojang agar tetap bisa bertemu dengan Ayah. Namun, ketika ia bangkit berdiri tiba-tiba pintu dojang terbuka.
Melihat pria yang ditunggu-tunggu sejak tadi muncul, Juna langsung bangkit berdiri. Gerakannya sangat cepat, bahkan tidak ada waktu untuk terhuyung atau hilanh keseimbangan.Juna jadi sangat senang ketika melihat pria itu. "Ayah."
Ayah mendengkus.
Juna bisa melihat kalau penampilan Ayah bahkan lebih parah dari hari sebelumnya. Ayah jadi lebih pucat. Lingkaran matanya semakin menggelap. Juna curiga kalau Ayah benar-benar tidak tidur. Senyum yang biasa menghiasi wajahnya, tidak lagi terlihat.
"Maaf, Yah. Aku benar-benar mau balik lagi latihan. Aku harus tepatin janji aku sama seseorang." Juna berbicara dengan nada memohon.
"Saya sudah bilang, kita udah nggak punya urusan lagi." Juna bisa mencium bau alkohol setelah Ayah berbicara di dekatnya.
Ayah mengunci pintu. Pria paruh baya yang memiliki postur lebih tinggi darinya itu berlalu begitu saja tanpa memarahi Juna. Juna jadi merasa bersalah. Ayah perlahan berubah menjadi seseorang yang tidak ia kenal.
"Aku tahu kalau semua atlet Ayah dibawa pergi sama Sabeum Gio."
Ayah menghentikan langkahnya.
"Ada janji yang harus aku tepatin. Janji aku sama Yohan buat ikut turnamen nasional."
"Hubungannya sama saya apa?" Ayah bertanya sarkas.
"Ayah punya janji kalau setelah aku berumur 18 tahun aku diizinin untuk ikut kelas senior. Besok aku ulang tahun, aku mau nagih janji itu."
"Saya nggak pernah ingat tentang janji itu."
"Satu tahun lalu, di depan kue ulang tahunku yang ke-17, Ayah bilang aku belum boleh ikut kelas senior. Ayah kasih aku waktu satu tahun untuk memutuskan lanjut atau nggak di bidang ini. Ayah juga yang bilang kalau aku mutusin buat lanjut di bidang ini Ayah sendiri yang akan jadi pelatih aku. Aku mau tagih janji itu sekarang."
Mata Juna sudah merah. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia juga mengatupkan mulutnya rapat. Ia benar-benar takut kalau ia akan mengatakan hal-hal yang menyakitkan jika lepas kendali.
"Kamu masih berpikir kalau Yohan sahabatmu? Lihat, dia pergi ninggalin kamu. Nggak ada yang namanya sahabat di bidang ini!" Emosi Ayah mulai meninggi.
"Hubungan Ayah sama Sabeum Gio, beda sama hubungan aku dan Yohan. Yohan benar-benar menganggap aku sahabatnya. Dia datang waktu tahu kalau aku dikeluarin dari dojang. Dia bahkan luangin waktu buat diskusi sama aku. Ingat Ayah, Yohan bukan Sabeum Gio. Persahabatan kami nggak bisa disamakan dengan persahabatan Ayah dan Sabeum Gio." Juna berbicara dengan suara yang sudah bergetar.
"Terserah kamu, saya nggak peduli." Ayah meninggalkan Juna.
Namun, Juna tidak menyerah. Ia mengikuti pria jangkung itu hingga ke parkiran. "Ayah yang bilang kalau laki-laki nggak boleh ingkar janji. Besok aku bakal dateng lagi untuk tagih janji itu."
Ayah diam dan melanjutkan kegiatannya.
Juna mengepalkan tangannya saat Ayah melewatinya begitu saja. Laki-laki berlesung pipi itu tersenyum ketika menyadari kalau usahanya tidak dipatahkan seperti hari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Ficção GeralArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...