Juna masih menatap malas pada Yohan. Ini kali kedua sahabatnya itu melakukan pencegatan di jalan layaknya tukang palak. Sudah dua kali juga Juna mendapat pertanyaan yang sama. Laki-laki berseragam putih abu-abu itu memutar bola matanya malas ketika Yohan kembali menanyakan hal yang tidak bisa dijawab.
"Ngapain kamu ke sini?" Suara familiar yang sudah hampir seminggu tidak Juna dengar, akhirnya menggema di telinganya.
Juna menoleh dan mendapati Ayah berdiri di sana. Ia menatap laki-laki paruh baya itu dan jantungnya berdegup kencang. Segala rasa berkecambuk di dadanya. Kata-kata dari pria itu seolah menusuk hatinya. Kalimat itu seakan ditujukan untuk orang asing.
"Saya tanya, ngapain kamu ke sini?" Laki-laki paruh baya itu mendekat dan bertanya dengan nada yang semakin tinggi.
Yohan yang berdiri di tengah hanya bisa menatap dua orang itu bergantian sambil menghela napas.
Juna menatap wajah Ayah lebih lama dari yang seharusnya, kemudian ia berusaha menjawab pertanyaan itu setenang mungkin. “Aku datang ke sini buat ketemu sama Yohan.”
Yohan sempat tercengang, tetapi ia langsung mengerti ketika menerima kode kedipan mata dari Juna. Begitu memahami situasi, Yohan akhirnya hanya mengangguk.
“Saya sudah bilang, jangan datang lagi ke dojang!" Ayah berbicara tanpa senyuman. Tatapan matanya tajam seolah menyimpan kebencian pada Juna.
Juna membeku di tempatnya. Tubuhnya menegang, seolah sebongkah es tengah mengaliri punggungnya.
"Kamu sudah nggak ada hubungan lagi dengan dojang ini!” Ayah melanjutkan kalimatnya masih dengan nada yang sama dan tatapan yang membuat Juna hampir tidak mengenali pria itu.
Juna mengepalkan tangan. Matanya bergetar. Tanpa mengatakan apapun, ia menyalakan motor dan pergi begitu saja dari sana.
Motor matik hitam yang dikendarai Juna melaju dengan kencang. Laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu dilapisi jaket denim itu sudah tidak peduli dengan kendaraan yang ada di sekitarnya. Motor matik yang biasa ia sebut Blacky, terus melaju kencang dan menyalip melewati kendaraan lain yang berjajar di jalanan.
Begitu tiba di depan rumah, Juna tidak langsung mematikan motornya. Ia malah berniat untuk pergi dari sana, tetapi ia tidak tahu tempat yang harus ia tuju.
“Oy.” Seperti biasa, Ara selalu muncul di saat yang tidak tepat. Gadis itu seringkali muncul di saat terburuk bagi Juna Bahkan kadang Juna menyebut Ara serupa dengan jin. Gadis itu bisa muncul tiba-tiba tanpa suara dan dengan mudah membolak-balikkan hati Juna.
Juna masih mengatur napas ketika gadis itu menyentuh pundaknya. Refleks, laki-laki bermata besar itu mendelik.
“Sorry. Lo masih bad mood, ya?” Ara berjalan ke depan Juna.
“Ngapain lo ke sini?” Juna bertanya tanpa wajah ramah sedikitpun. Ia masih bertahan dengan ekspresi datar yang sudah menghiasi wajahnya sejak berada di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluargaku ter-Taekwondo ✓
Ficção GeralArjuna Putra Hanggasa (Juna) bermimpi untuk menjadi atlet nasional Taekwondo. Lahir dan besar di keluarga yang menggeluti olahraga asal Korea Selatan itu, membuat Juna secara alami mengikuti jejak Ayah dan Kakek. Selain mimpi, ada alasan lain yang s...