Chapter 8

295 20 0
                                    

Hiromi tidak menjawabku, tapi di wajahnya tergambarkan perasaan aneh, gelisah, dan hal lainnya. Seakan-akan dia menyesali suatu perbuatan yang telah dia lakukan kepadaku. Padahal seingatku dia tidak pernah melakukan hal aneh kepadaku. Setelah kubuatkan teh, aku pun kembali ke ruangan tengah. Hiromi duduk sambil memengi kepalanya dengan kedua tangannya. "Pasti dia frustasi", gumamku dalam hati. Aku tak berani mendekat karena takut Hiromi melakukan sesuatu yang aneh terhadapku. Akhirnyaku putuskan untuk meletakkan secangkir teh itu diatas meja yang ada di hadapannya. "Ini tehnya, sudah siap", tapi dia tetap tidak menjawab. "Emh aku permisi dulu ya", kataku sambil meninggalkan Hiromi di ruang tengah.

Sesampainya di kamar, ku putuskan untuk bicara dengan Hiroku walaupun masih ada Hiromi di rumah.

"Hiroku mana sih?", tanya ku sambil tersender di pagar balkon kamar.

"Tebak dimana?", Katanya pelan masuk ke telingaku disertai angin yang berhasil membangunkan bulu kudukku.

"hah?", sedikit tersentak kaget.

"Merindukanku?", tanyanya sambil bergaya sok keren di sampingku.

"Hah... dia mulai lagi"

"Ah tidak usah malu begitu.."

"Lebih baik kau diam! Lupakan, langsung saja ke masalah", jawabku serius.

"Emh kenapa? Masalah yang mana lagi? Kenapa sih hidupmu selalu bermasalah dan...",

"KAU INI... diam dan dengarkan!", bentakku hampir menjitaknya." Begini sebenarnya aku ingin tanya. Apa... kau bisa membaca pikiran Hiromi?", tanyaku pelan.

"Emh mudah soal itu ya, itu sih mudah"

"Jadi bisa?"

"Ya karena sangat mudahnya sampai-sampai ga bisa", jawabnya sekenanya.

"Bilang aja ga bisa, YOU DON'T SAY",

"Memang kau ingin tau apa tentangnya?", tanyanya dengan wajah cuek.

"Tidak aku hanya bingung kenapa akhir-akhir ini dia sangat aneh. Suka merenung sendiri, terkadang ada tatapan aneh yang tergambar di wajahnya jika menatapku", jelasku serius.

"Alah kaunya saja yang terlalu berharap, kalau dia akan menyukaimu", cetusnya.

"Aku serius, aku... hm hanya sedikit takut dengannya. Belakangan ini dia selalu dingin, tidak seceria awal. Apa karena dia sedang berusaha agar aku bisa bermain di dunia arwah. Apa ku beritahu saja kalau aku sebenarnya sudah bisa bermain di dunia arwah tapi dianya saja yang tidak bisa melihat arwahku", kataku dengan yakin.

"Ehh jangan, kau kan masih tidak tau sifat asli diakan. Jangan sesekali kau berikan kepercayaanmu kepada orang lain walaupun dia orang tuamu. Karena tidak semua orang baik secara tiba-tiba kalau tidak ada maksud", katanya dengan lebih serius.

Aku hanya menghela nafas berharap agar hatiku bisa lebih tenang. Hiroku menatapku dengan tatapan iba. "Kenapa kau bisa sepercaya itu kepada Hiromi dibanding aku yang sebenarnya selalu menjagamu sejak dulu?", gumam Hiroku dalam hati.

JGREEKK (pintu kamar terbuka)

Rupanya Hiromi yang masuk, sedangkan Hiroku sudah pergi setelah mendengar ada suara pintu terbuka. Hiromi masih menggambarkan wajah lesuh, dan tubuhnya juga seperti tidak berdaya. Aku hanya bisa memperhatikannya dari balkon kamar, saatku perhatikan dengan jelas rupanya dia mengunci pintu kamarku dan memasukkannya kedalam sakunya. Angin dari luar mengibas rambutku seakan-akan ada suara Hiroku dari luar rumah yang mengatakan "tenang aku ada di dekatmu tetaplah berada di balkon agar aku bisa menjagamu", kata-kata itu seolah-olah meyakinkanku untuk tetap ada di balkon kamarku. Hiromipun menghampiriku dengan wajah dingin.

"Hi.. hiromi ada apa? Kenapa kau kunci pintu kamarku?", kataku sambil mencoba mengambil kunci itu dari saku celananya, tapi gagal yang ada Hiromi justru memegang tangan kananku, lalu menariknya, membuat tubuhku lebih dekat dengan Hiromi.

"Eh?", sentakku.

"Apa kau takut?", kata Hiromi dengan tatapan dingin.

"Emh a..aku"

"Apa kau takut denganku?", tanyanya lagi.

Aku tidak bisa menjawabnya, jika ku katakan tidak takut artinya aku berani melawannya. Tapi kalau aku jawab iya, aku akan lebih takut dengannya. Aku takut dia mencelakaiku.

"Jawab aku Chici!", bentaknya memegang kedua lenganku dan membuat diriku semakin dekat dengannya.

"Kau baik-baik saja", kataku gugup.

Kami berdua saling bertatapan, tapi tidak bisa dibohongi bahwa tatapan wajahku ini menggambarkan ketakutan. Akhirnya dia melepaskanku dan menghadap ke luar balkon.

"Kau butuh istirahat", kataku pelan.

"Bagaimana aku bisa beristirahat kalau aku saja tidak bisa mengajarimu bermain di dunia arwah, padahal itu adalah ilmu yang sangat mudah"

"Jadi itu yang dia sedang pikiran sampai-sampai setres begitu, apa ku beritahu saja ya hemh..", gumamku dalam hati.

"Apa yang kau ingin beritahu?", tanyanya dengan nada tinggi.

"Eh?"

Tanpa ku sadari rupanya dia membaca pikiranku. Sekarang tatapannya lebih lemas dari sebelumnya, lebih tidak berdaya. Dan...

Brukk...

Hiromi jatuh pingsan. Tubuhnya panas, mungkin demam. Akhirnya aku mencoba menggotong tapi tidak kuat mungkin karena tubuhnya lebih besar dariku.

"Kenapa sangat berat sih?", kataku dengan sekuat tenaga.

"Buang saja kebawah", kata Hiroku acuh sambil berdiri di atas pagar balkon.

"Eh ngapain disini... nanti kalau dia tiba-tiba bangun lagi gimana? atau dia cuma pura-pura pingsan"

"Pura-pura pingsan? rupanya dia tidak mempercayai orang ini sepenuhnya", gumamnya dalam hati.

"Dari pada kau berdiri di atas pagar balkon itu lebih baik kau bantu aku untuk membawanya sampai ke atas kasur!"

"Untuk apa? Diakan sudah mengusirku keluar dari kamarmu"

"Ehh cepat bantu aku!", bentakku.

"Sini!"

Hiroku mendekat ke arahku dan Hiromi, tapi yang dia lakukan bukannya menggendongnya justru menyeretnya sampai ke atas kasur. "Eh apa yang kau lakukan kasar sekali!", bentakku. "Jangan cerewet", jawabnya dingin dan jutek. Entah kenapa jika melihat Hiroku membentakku atau bersikap dingin kepadaku, justru membuat jantungku berdebar-debar. Entah perasaan apa itu "sudah selesai hm", katanya sambil membuang nafas kesal. Aku mendekat lalu memperbaiki posisi tidurnya Hiromi.

"Eh apa yang mau kau lakukan", bentaknya.

"Kau menaruhnya miring"

"Sudah-sudah biarkan saja begitu"

"Enak saja kasihan tau bagaimanapun dia yang selama ini orang yang menjagaku", jelasku.

"jika aku punya keberanian, mungkin aku akan memberitahunya kalau selama ini aku yang selalu menjaganya dari orang-orang jahat. Dan sampai detik ini walau aku tidak ada di kamarmu tapi, aku tetap menjagamu dari luar rumah", gumamnya dalam hati.

The Love I Lost SpiritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang