Bi Suci berjalan tergopoh menghampiri kamar majikannya. Ia perlu segera menyampaikan sesuatu entah kepada tuan atau nyonya rumah di kediaman Buamana itu sesegera mungkin, baru setelahnya ia akan ke dapur untuk mengambilkan minum hangat yang dipesan tuan mudanya.
Tok..tok..tok!
Bi Suci mengetok setengah tergesa
Tok..tok...tok!
"Nyah... Ini Suci" ia menunggu sambil menggosok-gosok kepalan tangannya dengan gusar. Tangannya terangkat untuk mengetuk sekali lagi namun urung saat terdengar jawaban dari dalam
"Iya Bi... tunggu sebentar" tidak lama Hana membukakan pintu
"Ada apa bi?" Hana bertanya lembut seraya menggosok pelan mata kanannya yang terasa sepat. Sebelumnya ia sempat melirik sekilas beker yang ada di atas nakas, benda mungil berbentuk jamur dengan kepala berwarna merah dan jarum berwarna kecoklatan itu menunjuk ke angka 1.
"Itu nyah... den Raia batuk-batuk... Ini saya mau ambilkan air hangat ke dapur" Suci mencoba menjelaskan situasinya sebaik mungkin, ia sudah menghadapi keadaan seperti ini puluhan bahkan ratusan kali selama ia bekerja di rumah itu. Tapi tetap saja, rasa khawatir membuatnya tidak terbiasa
"Oke bi, saya ke sana sekarang. Makasih ya" berbeda dengan bi Suci, Hana bergegas tanpa kehilangan ketenangan sambil mengarahkan langkahnya ke lantai 2.
Tok... Tok... Tok
Hana mengetuk pelan pintu kamar pertama dari tangga, terdapat gantungan yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran sebuah nama di sana, "Raia". Pintu tidak dikunci, Ia masuk tanpa menunggu dibukakan sang empu. Sesaat setelah memasuki kamar ia dapat menangkap keberadaan putranya di atas kasur tengah terduduk lemas bersandarkan beberapa buah bantal. Remaja tampan dengan raut pasi itu melirik kearahnya sebentar, tersenyum lalu kembali menunduk cepat hingga setengah meringkuk sambil menutupi mulutnya.
"Uhuk uhuk hhh..."
"Sayang... Kenapa?" Hana tidak perlu menjelaskan, Raia tahu betul arti dari pertanyaan mamahnya itu adalah "bagaimana bisa?"
"Maaf mah... uhuk uhuk...Raia ketiduran... Acnya lupa dimatikan... Uhuk uhukh" dengan cepat Raia mencondongkan tubuhnya kembali, berharap posisi andalannya itu dapat membantunya lebih leluasa mengambil napas.
" Sini sayang, mamah bantu..." Hana dengan tenang menyerahkan inhaler yang diambilnya dari dalam laci nakas di samping kiri Raia, mengocok benda kecil itu beberapa kali sebelum menyerahkannya pada sang putra "Nih, dipake dulu..." Raia menyambut obat semprot siap pakai itu lalu menghirupnya 2 kali setelah sebelumnya kembali menegakkan badan dengan dibantu Hana, kini posisinya kembali menunduk dengan kedua tangan memegangi dadanya yang serasa menyempit, Ia kepayahan.
"Mah... Afinh Kaka... Yahh hahh" Sesalnya dalam sesak, Raia sungguh tidak bermaksud untuk merepotkan siapapun malam ini.
"Udah nggak papa, nggak usah dipikirin... Salah mama juga nggak ngecek kamar kamu tadi sebelum tidur. Tau sendiri jagoan mama yang satu ini pelupa" Hana mencoba menenangkan putranya sambil mengelus pelan dada Raia. Ia berharap sentuhannya mujarap seperti biasa, ia berdoa semoga melalui tangannya tuhan segera memberikan kesembuhan bagi putranya. Meski hanya untuk sementara.
"Aku janji... nggak lupa... lagi... Uhuk hhh" Raia masih dalam posisi menunduk, ia tidak merasa baik sedikitpun. Dosis inhalernya sudah mencapai batas, ia mengutuki diri sendiri yang lalai sehingga berakibat buruk bagi kesehatannya dan sialnya sampai mengganggu istirahat orang rumah. Kali ini ia mengaku salah.
Raia memejam, sibuk merutuki diri sambil menikmati sentuhan lembut di dadanya. Ia merasakan hangat yang mengalir dari lentik jemari sang mamah hingga ke seluruh inci kulit tubuhnya. Raia masih sesak, Namun merasa nyaman disaat bersamaan dan ada sentuhan lain yang diam diam sangat Raia rindukan.