Q

550 47 8
                                    

"Dek"

"Hmm"

"Deek"

Taiga mencuil siku Jenta dengan ujung jari telunjuknya, mencoba menarik perhatian anak itu. Sedangkan Raia hanya berbaring memperhatikan interaksi keduanya. Mereka baru saja pulang sekolah, keduanya dijemput oleh Taiga karena Theo sedang ada meeting dengan calon pembelinya.

"Hm!"

Jenta masih sibuk dengan layar ponselnya, tinggal 3 potongan lagi  fuzzle gamenya selesai. Jenta harus segera menyelesaikannya mengingat batas waktu yang semakin dekat, terlebih lagi ini nyawa terakhir. Ia harus menyelesaikan sekarang, jika gagal Jenta harus menunggu 30 menit untuk kesempatan selanjutnya.

"Iih Jenta dengerin Abang dulu"

Taiga akhirnya mencomot ponsel dari tangan Jenta, sontak saja gadis itu berteriak tidak senang

"Apaan sih bang! dari tadi juga udah Jenta hmm hmmin"

cepat2 Taiga menyerahkan kembali ponsel Jenta, dari seluruh kegiatan yang ada rumah ini. Membuat kesal Jenta adalah hal yang paling dihindari Taiga. Jika sudah terusik, jenta bisa saja memelintir tangannya, kali ini kemungkin bisa sampai patah.

"Oke oke... Nih handphonenya, hehe maaf ya"

seperti dulu, Taiga ingat betul rasa sakit yang amat sangat akibat ulah Jenta. Ia harus menderita karena dislokasi bahu, Taiga juga tidak bisa menggerakkan tangannya dengan bebas selama lebih dari 3 bulan.

Semua itu terjadi hanya karena ia usil mengambil gambar Jenta yang sedang menangis dan terus menertawakannya sepanjang hari. Padahal Jenta sedang berduka karena harus berpisah dengan anjing yang baru dipungutnya di jalan, karna Raia tidak bisa hidup serumah dengan hewan berbulu halus.

Seberapa besarpun Jenta menyukai hewan, ia lebih menyayangi saudara kembarnya itu. Dengan berderai air mata, Jenta terpaksa harus mengantar anjingnya ke penampungan. Saat itulah Taiga memotretnya lalu menjadikannya bahan candaan sepanjang hari.

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Taiga dilarikan ke IGD karena kesakitan dan tidak bisa menggerakkan tangan kanannya. Taiga bergidik ketika teringat hal itu.

"Ya udah cepet apaan?"

Jenta ingin berbaik hati mendengarkan curhatan sang Abang, namun ia segera memeriksa ponselnya.

Bukankah tadi dia sedang bermain game?

Adalah hal yang aneh jika layarnya mati, harusnya tetap menyala karena Jenta tidak merasa menjeda atau bahkan log out dari permainannya.

Buk!...buk!..buk!

"Aaaah abaaaang, progres aku jadi ilang"

Jenta dengan brutal memukul bahu Taiga. Raia hanya memperhatikan sambil tersenyum, ia sudah menduganya

"A AA ampun Jen ampun, sakit Jen ampun!"

Taiga mencoba mengentikan Jenta dengan teriakan putus asanya, ia hanya mampu melindungi setiap area yang Jenta serang dengan kedua tangannya

"Abang usil banget sih! ini loh aku kalah jadinya! Aku harus nunggu lama lagi kalo mau main... huu"

Jenta hampir menangis, Raia hanya berani terkikik pelan. Meski Jenta tidak akan ikut menyerangnya,  Raia tetap tidak ingin berurusan dengan Jenta. Ia tidak hanya pandai memukul dan mengunci, Jenta bahkan lebih pandai menggerakkan seseorang untuk mengakhiri hidup hanya dengan ujaran kebencian ketika ia sudah kesal. Meski Jenta tidak pernah sampai benar2 membuat orang bunuh diri, setidaknya itulah keyakinan Raia.

"Abang minta maaf ya jangan marah, Abang beliin Magnum deh ya... Yang clasic 2 kotak sama almond 2 kotak ya?"

Taiga menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya ribut, ia membuat pose memohon agar Jenta berhenti kesal padanya. Tidak lupa merayu dengan ice cream kesukaan Jenta. Ia terus menambah jumlah tawarannya hingga akhirnya Jenta berhenti memukulnya.

TERRARIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang