X

279 36 2
                                    

Raia tampak bersandar lemah pada Taiga yang sedang duduk membelakanginya sambil memisahkan kulit anggur berwarna kehitaman itu satu- persatu. Taiga sangat benci kegiatan sia-sia seperti ini tapi apa boleh buat, sang adik katanya teramat sangat ingin makan anggur hitam tanpa kulit dan biji.

"Abang udah habis!"

Raia menyodorkan piring kecil yang sudah kosong lewat bahunya, dipinggirannya terdapat beberapa butir biji anggur.

"Bijinya kurang bersih tuh... Hehe"

Taiga mendengus, ingin rasanya ia beranjak cepat agar Raia terguling hingga ke lantai dasar rumah sakit di bawah sana.

"Nih udah di reload!"

Raia kembali menerima piring kecil penuh berisi buah anggur tanpa kulit dan biji yang sudah dibelah menjadi dua.

"Terimakasih abangku yang paling baik hati sedunia"

Gelitikan ceria dari lengkingan suara Raia selalu berhasil membangkitkan senyum hangat milik  Taiga.

"Abang..."

Raia melanjutkan kunyahannya.

"Bunda ngomong apa aja?"

Taiga berhenti, topik ini sudah tenggelam dari 2 minggu yang lalu. Ia tidak menyangka Raia akan mengingatkannya.

"Makan dulu aja dek, abang nggak mau kamu keselek terus sekarat lagi"

Yang diajak bicara diam saja. Acuh dengan peringatan Taiga, Raia mengganti pertanyaannya.

"Aku udah nggak boleh sekolah lagi ya?"

Taiga kini benar-benar berhenti mengupas, ia berdiam sejenak sambil merasakan hangat punggung Raia.

"Abang nggak bisa liat kamu kaya gini lagi dek"

Ada getar dalam kalimatnya, Raia cukup paham. Ia sudah sangat puas untuk semua kesempatan yang  ia dapatkan. Raia tidak bisa meminta lebih jika harus mengorbankan siapapun, terlebih perasaan Taiga. Karna Raia yang paling tahu Taiga.

" Hmm... Sekolah juga nggak seru-seru amat sih hehe"

Ia memasukkan sebiji anggur lagi kedalam mulut, namun kali ini tanpa semangat.

"Maafin abang ya dek"

Taiga bergeser perlahan lalu mengubah posisinya untuk memeluk Raia, Sang adik diam saja.

"Aku okay tapi juga sedih... Tapi nggak papa juga sih"

Tidak ada yang perlu ditangisi, kesedihannya tidak seberapa dibandingkan yang sedang ditanggung Taiga. Raia sadar jika pelukan itu bukan untuknya, tapi untuk Taiga sendiri.

"Abang..."

Taiga belum sempat menjawab ketika Raia melanjutkan kalimatnya.

"Bunda minta apa?"

Taiga hanya diam, namun jelas Raia rasakan hembusan nafas berat yang melewati belakang lehernya. Taiga melepaskan pelukannya yang sempat dipererat.

"Bunda bilang ada cara biar dia bisa nerima abang"

Senyum yang tersungging di sana palsu, Raia tidak bisa ditipu.

"Apa pilihannya?"

Raia sudah berhenti makan, ia berusaha duduk tegak namun agak goyah saat berusaha memalingkan tubuh menghadap Taiga. Taiga sigap menahan tubuhnya.

Sebelum menjawab, Taiga merapikan selang oksigen yang miring dan beberapa helai rambut Raia yang agak berserakan lalu beringsut menggeser posisinya.

"Sulit dek, tapi bunda bilang abang pasti bisa bantu bunda... Dan mungkin untuk beberapa waktu abang harus pergi jauh dari kamu, Jen, mamah sama papah... Bahkan mungkin bunda"

Raia terkesiap, sejenak ia bingung memilih kata. Ingin sekali menahan Taiga di sisinya tapi Raia juga ingin menyelamatkan Taiganya.

"Gitu ya..."

Raia bergeser, menyelonjorkan kaki dan berbaring. Meninggalkan Taiga yang duduk dengan tenang di pinggir ranjang sambil membelakanginya.

"Bunda minta abang nyelesain urusan dia 19 tahun lalu..."

Taiga menunduk, meremas erat sisi matras di kiri dan kanannya. Raia memperhatikan, harap-harap cemas jika ternyata Taiga benar-benar akan meninggalkannya. Tapi derita Taiga adalah dekat dengannya, bagaimana bisa Raia menolong abangnya jika memilih egois. Bukankah satu solusi sedang ditawarkan saat ini?

"Aku nggak papa, kalo itu bener bisa bikin bunda nggak marah sama abang aku janji bakal dukung abang... Aku bakalan tunggu abang balik..."

Taiga diam saja.

"Aku percaya abang bakalan datang lagi, Abang yang terus-terusan minta aku hilang itu bohong... Abang cuma bingung milih bunda atau aku."

Kali ini Taiga menoleh.

"Alter ego Abang itu cuma satu dari banyak syarat dari bunda kan?!"

Taiga hampir menangis, ingin rasanya ia berteriak dan mengadukan semua bebannya pada Raia. Tapi sudut senyumannya mencegah kelemahan semacam itu.

Taiga berniat mengusak kepala Raia lebih lama namun ditepis lemah oleh empunya.

"Paan sih dek sok tau!"

Taiga menghentikan senyumnya, Raia memanyunkan bibirnya. Raia tidak salah, Pavetta memang pernah mengajukan semacam pilihan, ia boleh tetap di sana namun tidak boleh menjadi bagian dari keluarga itu atau Pavetta akan benar-benar membunuhnya. Sang bunda memaparkan alasan yang cukup sederhana ketika Taiga kecil bertanya kenapa, sang bunda benci mendengar tawa Taiga katanya.

Namun tampaknya, Taiga cukup serakah. Ia ingin cinta bundanya juga ingin keluarga Buamana, karena itulah ia tidak mampu menentukan ingin bersikap seperti apa.

"Jadi abang tinggal nggak papa kan?"

Alih-alih menjawab, Raia mengeratkan genggamannya pada ujung jari Taiga.

"Abang... Temenin bentar ya?"

Raia menempelkan tangan dingin itu ke pipinya, matanya perlahan menutup. Tidak lama  Taiga mendengar dengkuran halus dari Raia, anak itu sudah tidur. Taiga menunggu cukup lama hingga Raia melepaskan tangannya.

Taiga ingin memeluk Raia, cinta tulus dari Raia pasti akan membuatnya rindu sekali. Tapi nanti saja, biar Raia saja yang memeluknya atau sesuatu apapun yang bisa mewakilinya. Taiga takut tidak bisa melepaskan pelukannya.






🍉🍉🍉

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TERRARIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang