C

1.2K 118 18
                                    

Taiga mondar-mandir gelisah di kamarnya, kamar isolasinya. Ia mendengar sayup keributan di luar,  tadi papah Theo juga sempat mampir untuk mengecek dirinya sudah tidur apa belum atau bahkan terganggu karna bisik-bisik yang terjadi. Ia diberitahu kalau Raia mendapat serangan asma, tapi Theo sendiri belum tahu apakah serangan berat atau hanya serangan ringan. Taiga hanya bisa berharap dan berdoa semoga adiknya baik-baik saja.

Jam dinding menunjuk angka 2.30, Taiga semakin tidak bisa  tenang.  Setiap 15 detik sekali ia mengubah posisinya, duduk di tepi kasur kemudian berdiri sambil mondar-mandir lalu duduk lagi, sesekali ia ke kamar mandi membasuh wajahnya sambil mencoba menenangkan diri. Disela kekhawatirannya, Taiga terus melirik kearah jam dinding. Ini sudah hampir subuh, tapi belum ada siapapun yang menghampirinya. Itu artinya Raia masih belum menunjukan tanda-tanda membaik, bisa saja kambuhnya kali ini cukup berat.

Remaja 19 tahun itu meraih ponsel yang tadi ia geletakan begitu saja di kasur, menimbang untuk menghubungi mamah Hana atau tidak. Ia takut tindakannya malah mengganggu ditengah sibuknya Hana mengurus  Raia, membangunkan Jenta pun Taiga tidak tega. Tadi saat Jenta menjenguknya, gadis itu mengeluh ingin sakit saja seperti dirinya agar bisa tidur sepanjang hari. Lagipula Jenta akan lebih heboh jika tahu Raia sakit.

Taiga akhirnya memutuskan untuk menunggu sampai akhirnya ia mendengar ketukan lembut di pintu, Taiga beranjak dengan tergesa. Ia mencoba meredam prasangka buruk yang terus menghantuinya sejak tadi.

"Abang kebangun ya? Maaf ya mamah jadi ganggu kamu" Hana berdiri di depan pintu dengan raut lelahnya

"Adek gimana mah? Baik-baik aja kan? Harus ke rumah sakit lagi nggak? Ak... Aku boleh liat adek nggak?" Taiga bertanya tak sabar

"Kamu sabar dulu bang, tenang dulu. Adeknya nggak papa" Hana mengusap lembut bahu putra pertamanya itu, Menggiringnya ke tepi ranjang lalu mendudukkannya di sana. Taiga menurut saja. Mendengar Raia baik-baik saja Hana menangkap ekspresi lega bercampur rasa bersalah di wajah Taiga.

"Adek kambuh kenapa mah?" Hana menata bantal untuk Taiga lalu membaringkannya, menarik selimut menutupi setengah badan remaja itu. Lagi-lagi Taiga hanya menurut, dari setiap sentuhan dan gerakan lembut Hana, Taiga bisa mengerti jika mamahnya itu juga merasakan hal yang sama seperti dirinya "Raia ketiduran, lupa matiin AC. Sekarang adek kamu udah nggak papa, ada papah yang jagain Abang tenang aja ya" Hana mengecup kening Taiga dan hendak bersiap kembali ke kamarnya ketika lirih Taiga berucap "Maafin aku mah, pake sakit segala. Adek jadi harus sendirian. Padahal adek butuh ada temennya" Hana mengurungkan niatnya, menatap sendu wajah Taiga lalu ia kembali duduk ditepi ranjang.

"Adek sakit bukan salah siapapun. Begitu juga dengan kamu bang, lagian adek juga bakalan sedih kalo denger kamu ngomong gini. Sekarang Abang tidur aja, istirahat biar cepet sehat nanti bisa balik tidur sama adek lagi ya. Raia udah kangen banget  sama abangnya, minta ketemu terus. Pusing mamah, dia udah kaya rentenir aja nagih-nagih kamu ke mamah sama papah" mendengar itu Taiga tersenyum tipis, tidak dapat dipungkiri dirinya juga sangat merindukan Raia. Kecuali bagian usilnya.

🍉🍉🍉

Hana baru meninggalkan kamar isolasi Taiga setelah remaja itu tertidur pulas, ia langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan karna matahari sudah mulai naik namun urung karena ternyata bi Suci sudah lebih dulu sampai di dapur. Hana memilih kembali ke kamar Raia, putra dan suaminya itu sedang tertidur lelap dengan posisi Raia yang menyender dipundak Theo. Tampaknya Raia sudah tidak memiliki episode kambuh, ia berbalik setelah memperbaiki selimut Raia tanpa membangunkan keduanya.

Hana kelelahan, ia segera tertidur begitu menyentuh kasur. Semalam ia hanya sempat tetidur beberapa menit sebelum bi Suci datang. Setelah dari kamar Raiapun ia menyempatkan diri mengecek Jenta. Anak gadis satu-satunya itu tengah tidur dengan posisi miring memeluk lutut seperti udang rebus, rambut panjangnya acak-acakan serta selimut bulu yang tergeletak di lantai. Jenta pasti menendangnya dengan tidak sadar, Hana memungut selimut itu lalu memakaikannya pada Jenta. Tak habis pikir, Hana menatap lekat paras cantik putrinya. Bagaimana bisa remaja yang seharusnya anggun itu malah berperilaku sangat mirip dengan papahnya yang uring-uringan.

Sebelum tidur, Hana menyempatkan diri untuk berdoa. Semoga tuhan mau berbaik hati untuk untuk tetap mempercayakan keluarga kecilnya pada Hana, ia tidak ingin memaksa tuhan untuk menyembuhkan Raia, Hana juga tidak ingin memaksa tuhan untuk menyerahkan Taiga padanya. Hana hanya meminta sedikit lebih banyak waktu untuk keluarga kecilnya bisa tetap bersama dan bahagia.












Nanti lagi yaa....



Aku masih galau gara2 insiden hilangnya foto Raia kemaren😭 asetku yang berharga😭

TERRARIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang