K

951 82 9
                                    

Taiga bediri lama di lobi rumah sakit, ia sudah sampai sejak 15 menit yang lalu. Tapi langkahnya membeku, ia tidak tahu harus berkata apa jika nanti bertemu Raia. Raia? Ah! Seperti biasa, bocah itu hanya akan kembali menghambur dan menggelayut manja pada Taiga. Tidak perduli apa yang sudah Taiga  lakukan padanya.

Saat ini, Taiga sudah kembali pada dirinya lagi. Setidaknya itulah yang Taiga yakini. Ia pun kembali menyesali perbuatannya, tapi tetap saja, Taiga tidak bisa melakukan apapun selain menyesal dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Taiga sadar, perlakuan buruknya pada Raia tidak seharusnya ia biarkan. Taiga  menyayangi Raia lebih dari siapapun, dulu ia adalah Abang yang rela melakukan apapun demi Raia bahkan ketika adiknya itu tidak meminta. Tapi entah bagaimana, kini ia jugalah yang paling menyakiti Raia.

Pada akhirnya, Taiga memutuskan untuk masuk. Ia berlari hingga ke meja informasi, Taiga sudah hafal, jika Raia dilarikan ke rumah sakit tadi pagi maka sekarang ia seharusnya sudah dipindahkan ke kamar rawat.

"Permisi bu, adik saya atas nama Rhya Madhiaz Givto Hanania di kamar berapa ya? Usianya 16 tahun" wanita paruh baya di balik meja itu kini sibuk memeriksa data di komputernya, ia sudah menemukan yang Taiga cari.  "Anak Rhya dirawat di kamar VVIP 02, gedung PICU ya mas" Taiga menyampaikan terimakasih, ia segera berlari kecil menuju tempat yang dimaksud. Hatinya berdesir tidak nyaman, PICU adalah tempat perawatan Intensif khusus untuk anak.

Biasanya tempat ini terdiri dari 1 ruangan yang diisi beberapa tempat tidur dan 1 nurse stasion untuk memudahkan tenaga kesehatan melakukan pemantauan yang ketat. Namun di beberapa rumah sakit besar, unit ini juga terbagi menjadi beberapa kelas seperti yang Raia tempati saat ini."Kamu kenapa lagi sih dek?" Batin Taiga terus bergejolak, ia harap-harap cemas tentang kondisi Raia. Semakin dekat dengan tujuannya, Taiga semakin takut.

Tidak butuh waktu lama, kini Taiga sudah sampai di depan gedung PICU. Taiga tidak menahan langkahnya lebih lama lagi, ia segera mencari-cari nomor kamar yang menjadi tujuan ya. Namun kemudian, Taiga kaget sekaligus haru luar biasa. Ia sempat tidak bisa bergerak beberapa saat hingga akhirnya menguatkan diri untuk menyapa wanita cantik yang baru saja keluar dari kamar rawat Raia.

Di depan kamar 02 itu, Pavetta juga dapat segera menyadari kehadiran Taiga. Namun ia tidak memberikan kesempatan pada sang putra untuk memanggil namanya.
"Kamu dari mana aja sih bang?! Adeknya sakit malah keluyuran... padahal Raia itu anaknya anteng loh! Masa gitu aja kamu nggak bisa rawat adeknya?" Pavetta mengibaskan rambut lebat bergelombangnya ke belakang, mendadak ia merasa gerah saat melihat Taiga.

"Maafin aku Bun" Taiga tertunduk sambil meremas  jemarinya. Taiga sangat mendambakan panggilan sayang dari wanita di hadapannya,  Taiga juga begitu rindu pelukan hangat dari sosok itu, namun ia tidak berani bermimpi terlalu tinggi. Karena tatapan garang Pavetta seakan siap menghempaskannya kapan saja, hanya dengan melihatnya, Taiga lagi-lagi membuat bundanya marah. Ia lagi-lagi berhasil membuat bundanya sadar bahwa ia sama sekali tidak berguna. Apa yang dihadapinya saat ini, adalah rutinitas dalam kehidupan ibu dan anak itu.

"Abang? Mba Vetta?!... Mba Kapan balik dari Bandung? Maaf ya jadi harus ke sini segala... pasti capek ya di jalan" Hana yang datang dari arah yang sama dengan Taiga kini bergegas menghampiri sahabat karibnya sekaligus ibu kandung Taiga itu lalu memeluknya erat. Tadi Hana sempat pulang dan membawakan baju ganti  untuk suaminya, ia tidak tahu jika Pavetta juga ada di rumah sakit. "Enggak Han, tadi juga rencana mau mampir ke rumah... Eh mas Theo wa katanya Raia sakit, semua lagi pada di RS... Aku langsung buru-buru ke sini, kaget banget aku"

"Iya mba, sebelumnya emang ada kambuh, habisnya lari-lari sih... Kita coba rawat di rumah tapi nggak ada perbaikan, malah sempat collapse anaknya" Hana menjelaskan kondisi Raia singkat, ia tidak ingin menambah kekhawatiran Pavetta dengan detail kondisi Raia. Di sana juga ada Taiga, Hana takut putra sulungnya itu akan terguncang. Taiga memang sering memasuki fase itu, sejak 10 tahun terakhir, tepatnya setelah operasi pertama Raia. Taiga menjadi sering menyalahkan dirinya sendiri ketika Raia sakit, ia selalu terpuruk sendirian dan selalu menuntut agar Theo dan Hana memberikan hukuman berat padanya untuk itu dan tentu saja tidak satupun dari mereka mendengarkan.

TERRARIUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang