"Kak!"
"Kakak! Turun dulu sayang"
Hana menata piring2 kecil dan gelas susu di beberapa titik, salah satu ia letakkan didepan Taiga. Suaranya lantang memanggil Raia namun tak kunjung mendapat jawaban, anak itu sedang mengganti baju.
"Abang, kamu nanti balik ke kampus lagi nggak sayang?"
"Enggak mah, kuliahnya udah selesai makanya aku jemput adek cepet"
Taiga meraih sepotong pisang yang masih hangat itu lalu memasukkannya ke mulut, Taiga hampir meleleh, pisangnya terasa manis dan lumer sekali.
"Kak-"
"Iya iya lagi turun nih"
Raia menuruni tangga sambil berpegangan, tangan satunya membawa helaian Nasal kanul yang nanti akan ia sambungkan pada tabung O2 yang ada di ruang tengah di samping televisi.
"Yahoo mamah masak pisang goreng! Tengkyu mah"
Raia berseru girang, ini adalah cemilan favorit ia dan Jenta. Bahkan Raia sering meminta Jenta membuatkan pisang goreng untuknya ketika anak itu merasa bosan.
"Sama-sama sayang"
Hana menambahkan beberapa potong yang masih hangat kedalam piring Taiga karna anak sulung satu itu sudah menghabiskan beberapa potong lebih dulu.
"Jadi gimana sayang? Hari pertama di sekolah udah dapet teman belum?"
Hana merangkul sikut Raia sambil terus menduselkan badannya semepet mungkin dengan anak itu, Raia merasa tidak nyaman. Ia beringsut mundur namun percuma, Hana terus mengejarnya hingga ujung sofa
"Okay aku ceritain, tapi mamah mundur dulu ini"
Raia mendorong Hana sekuat tenaga
"Sempiiit akunya maah"
Hana tergelak, begitu pula Taiga yang hanya memperhatikan dari samping sambil tersenyum. Tidak lupa tangannya terus memasukan potongan kecil pisang goreng yang dibaluri kental manis dan taburan keju itu satu persatu ke dalam mulutnya.
"Awas aja ya kak kalo main pacar-pacaran, mamah nggak rela pokoknya"
Hana mencebikkan bibirnya, ia membuat ekspresi seolah Raia sudah benar-benar melakukannya.
"Apaan si mah, emang aku sekolah buat cari pacar!"
Balas Raia menghentak, ia sungguh tidak suka jika bicara mereka menyinggung masalah itu. Kini ia menaikan kedua kakinya keatas sofa lalu memeluk lututnya erat, wajahnya merengut masam seolah abai dengan goreng pisang dihadapan yang tadi sempat ia tatap dengan mata penuh binar kebiruan.
"Hei kok gitu sih, mamah kan cuma becanda.... maafin dooong pliiis"
Rayu Hana memelas, rangkulan manjanya kembali ditepis pelan oleh Raia
"Yang punya cewek itu aku mah"
Celetukan yang sangat jelas sumbernya dari mana namun Raia dan Hana tidak mampu menangkap jelas apa maksudnya.
"Ahaha... gitu amat mukanya dek!"
Taiga membalas raut tanya tanpa suara dari seberang sana dengan tawa jahil yang menggelegar, Taiga tidak tahan. Habisnya ekspresi Raia barusan bernilai milyaran bagi taiga
"Mingkem dek mingkem ahahaha"
Taiga mencoba memperagakan sarannya seraya memegangi perut karna tidak kuat menahan gejolak tawa
"ABANG SERIUS?!"
Taiga masih tergelak, Hana masih diam sambil mencoba menerka maksud Taiga yang sebenarnya
"Abang kok nggak pernah cerita ke mamah sih"
Hana ikut-ikutan penasaran dan merasa sedikit kecewa karena berfikir Taiga sudah menyembunyikan sesuatu darinya
"Lah kan mama udah tau"
Hana justru membalas cengiran Taiga dengan alis terangkat penasaran
"Cewek yang paling aku cinta di dunia ini tu cuma mamah, Jenta sama.... Bunda aja"
Taiga kembali tergelak, namun kali ini terdengar tidak renyah
"Ih si Abang nyebelin banget"
Hana mencubit paha Taiga gemas, sedangkan Raia hanya diam. Ia selalu tidak bisa mengatakan apapun jika Taiga sudah menyebut nama Pavetta. Raia tahu, saat menyebut bunda Taiga akan kembali terluka.
"Udah ah, mamah lanjut masak dulu, takut pisangnya gosong... Nanti Abang kalo udah nggak ada kerjaan temenin mamah ke pasar mau nggak?"
Taiga mengangguk setuju, ia mengulas senyum paling hangat untuk Hana. Di rumah itu memang ada bi Suci, namun Hana tidak pernah tega untuk membebankan semua pekerjaan rumah pada wanita paruh baya tersebut. Hana akan mengerjakan sendiri beberapa pekerjaan jika bi Suci masih sibuk dengan yang lainnya.
"Abaaaang"
Raia merengek, Taiga sudah mengerti sebelum permintaan itu terucap
"Nggak! Kamu habis ini langsung tidur istirahat... Lagian kalo yang belanja mamah itu pasti makan waktu setengah hari"
Raia mencebikkan bibirnya, ia membenarkan posisi Nasal kanul yang agak miring akibat gerakan halusnya saat mengunyah pisang goreng. Raia tahu maksud Taiga menolaknya karena tidak ingin dirinya kelelahan, lagi pula di manapun Hana belanja tetap saja bukan pilihan bagus jika Raia ingin ikut. Di sana akan menjadi terlalu dingin atau terlalu padat orang. Untuk Raia, kondisi seperti itu sangat tidak menguntungkan.
"Lain kali aja ya dek kita jalannya, Abang janji"
Taiga mengusap sayang pucuk kepala Raia
"Sore minggu?"
Taiga tampak berfikir sebelum menjawab
"Hmmm okay, nanti Abang kosongin jadwal seharian khusus buat kamu"
Raia mengangguk, lalu memamerkan cengiran khasnya pada Taiga. Bibirnya bergerak ringkas saat mengucapkan terimakasih pada abangnya itu. Memang seperti itulah Raia. Tidak akan pernah ada perdebatan panjang, ia akan selalu patuh dan menuruti Taiga.
"Abang siap-siap dulu, kamu habis ini pokoknya langsung ke kamar ya... Oksigen yang di kamar udah Abang Refill, nggak perlu geret-geret yang ini"
Raia mengangguk sambil tetap mengunyah pisang goreng tanpa rasa miliknya. Jika Hana membuat cemilan , maka bagian untuk Raia selalu polos tanpa perasa ataupun pewarna tambahan. Karena memang itulah yang terbaik untuknya, dan Raia tidak pernah mempermasalahkan hal semacam itu. Ia sudah sangat faham terkait kondisinya sendiri.
"Dek... Mau nitip apa? Abang mau beliin kamu sesuatu"
Raia mengangkat alis kanannya seraya memamerkan wajah yang bertanya seolah ada apa
"Cuma sebagai permintaan maaf, karna hari ini nggak bisa ajak kamu sama soal kemaren juga"
Taiga menggaruk tengkuknya sambil tersenyum kikuk.
"Aku okay bang, Abang nggak perlu minta maaf... Tapi nanti bawain aku buah naga aja ya yang paling seger sebiji hehe"
Meski ini sudah agak sore, Taiga menanggapi dengan anggukan dan senyum sehangat mentari pagi, Ia kembali mengusak lembut kepala Raia sebelum beranjak menuju kamar dengan langkah yang tidak terlalu lebar.
"Makasih ya dek"
Taiga hanya bergumam pelan, tidak siapapun yang mendengar ucapnya dan tidak siapapun juga yang tahu wajah pilunya.