"Adek nggak ada cerita sama aku pah, dia nggak ngomong apa-apa soal kondisi dia"
Taiga merasa tidak pantas menuntut Raia untuk menceritakan hal itu padanya, Raia pasti berpikir diagnosa barunya akan kembali mengguncang Taiga dengan rasa bersalah dan itu juga akan menjadi kesempatan untuk alter egonya kembali memuaskan diri
"Mungkin dia belum sempat aja bang, kan kalian baru ketemu pas pagi itu... Adek juga katanya berat mau cerita, takut kamu jadi tambah ngehawatirin dia" Theo duduk di kursi panjang itu sambil menyilang kan kakinya diatas meja, matanya sibuk mengamati layar laptopnya. Sesaat yang lalu ia mendapat email bahwa ada seseorang yang ingin membeli beberapa unit apartemen di gedung barunya.
"Salah aku juga sih pah, aku pasti ngebebanin dia banget. Aku sadar kadang aku berlebihan soal kondisi Raia, mungkin dia nggak nyaman"
Theo melirik Taiga sebentar lalu kembali pada laptopnya. "Bukan gitu bang, kita semua kan tau kalo Raia selalu pengen keliatan baik-baik aja. Dia nggak pernah mau dikhawatirkan apalagi sama kamu, itu karna dia sayang kamu bang, karna dia nggak mau abangnya sedih aja"
Taiga menghembuskan napas kasar, papahnya benar. Memang seperti itulah Raia, ia bukan merahasiakan semua itu hanya demi kabur dari bulan-bulanan Taiga, bukannya Raia berfikir Taiga akan tambah lebih mudah menyakiti dirinya karna tahu kondisinya semakin buruk melainkan Raia takut, Taiga akan semakin stress dan periode gilanya akan datang lebih sering.
Hanya Raia lah yang paling mengerti, ketika Taiga mencoba menyakitinya, itu hanyalah pelampiasan akan rasa khawatir Taiga padanya. Karna sebesar itulah Taiga menghargai dan menyayangi Raia, mungkin memang sulit dimengerti bagaimana cara Taiga berekspresi, tapi begitulah Taiga. Ia hanya akan melakukan hal yang bertolak belakang dengan emosinya, seperti yang diarahkan bunda.
"Abang..." Theo beralih dari layar laptopnya, ia menatap Taiga serius
"Papah sama mamah udah mutusin buat ngebolehin adek kamu ke sekolahnya Jenta, tadinya papah mau ngomong waktu kita makan bareng kemaren, sama Raia juga... Tapi anaknya malah sakit, papa jadi nggak sempat ngomong"
Taiga mematung, ia tidak bisa menarik kesimpulan dari kalimat barusan.
"Loh pah? Sekolah Jenta kan full day, adek bisa kecapean pah"
"Dia cuma ikut belajar di kelas aja bang, Raia nggak perlu ikut kegiatan yang lain"
"Tapi pah-"
"Papah rasa ini bukan hal yang buruk bang, selama ini dia emang nggak pernah minta buat ikut Jenta ke sekolah umum, tapi mamah sama papah tau dia pengen ikut"
"Papah rasa ini juga bisa jadi motivasi dia biar cepat sembuh" Theo menangkap gurat khawatir pada sorot mata Taiga
"Papah tau kan adek selalu semangat buat sembuh? lagian ngirim adek ke sekolah umum itu terlalu bahaya menurut aku"
"Kita udah terlalu lama ngekang dia di rumah bang, adek kamu itu sampe nggak punya temen loh"
"Kan ada suster Mae sama suster Dian pah!"
Theo tergelak, Taiga tiba-tiba saja menyinggung keberadaan dua suster asisten dokter Kardi, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang sudah menangani Raia sejak bayi. Begitu pula dua suster yang tadi Taiga sebut, kedua orang itu seumuran dengan Theo. Kelompok usia 30an keatas.
"Papah kok malah ngeledek aku sih" Taiga menarik-narik tangan Theo memaksanya untuk berhenti tertawa, wajahnya kini merah padam karena malu akan tawa papahnya itu
"Sori bang sori... Ahaha, Abang gimana sih? Masa adeknya disuruh temenan sama ibu-ibu bapak-bapak" Theo meneruskan gelaknya hingga Taiga akan merajuk.
"Oke aku setuju, tapi aku yang tanggung jawab antar jemput Raia"
"Lah kamu kan kuliah bang, papah bisa kok antar jemput adek kamu berdua itu, lagian kan papah pengangguran" Theo membenarkan posisi duduknya, perutnya sampai pegal karena menertawakan Taiga.
Theo tidak berbohong soal dirinya yang pengangguran, dari pada bekerja dibalik meja, Theo lebih senang menjadi pengangguran miliarder seperti sekarang ini. Meski tidak bekerja di sebuah perusahaan elit ataupun bukan pemilik dari perusahaan elit, saat ini Theo sudah memiliki sedikitnya 9 komplek apartemen di dalam dan luar kota, setidaknya sampai ketiga buah hatinya memiliki cicit, mereka tidak perlu khawatir soal uang.
"Papah jemput Jenta aja, kan dia sampe malam eskulnya" Taiga melanjutkan hingga Theo tidak sempat menyela.
"aku yang jemput Raia, aku nggak bisa percayain dia kesiapapun... Pokoknya jam 2 udah harus pulang, soal kuliah papah nggak perlu khawatir, putra sulung papah ini nggak bakal ngecewain papah sama mamah" sambungnya dengan percaya diri
Theo menatap Taiga lekat, anak itu menatap lurus ke arah bed di depan sana, ekspresi kesalnya masih kentara namun sorotnya pada Raia masih sendu seperti sebelumnya. Theo beringsut lalu lalu merangkul putranya itu dari samping, Taiga sempat berontak, tapi akhirnya memilih diam untuk mendengarkan apa yang akan Theo sampaikan.
"Papah seneng kamu udah lebih baik bang, papah makasih banget kamu udah hadir di keluarga ini, makasih banget udah mau tetap jadi putranya papah"
Taiga diam saja, ia tidak mengalihkan pandangan tidak pula membalas pelukan Theo. Ia hanya diam membiarkan waktu berlalu sementara Taiga menikmati pelukan hangat sang papah, Taiga pun tidak lepas dari berpikir apakah ia layak untuk ini.
Di sisi lain, Theo sangat lega hari ini Taiga sudah bisa diajak bicara senormal ini, ia sudah tampak lebih ceria dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Sudah 28 hari tapi Raia belum bangun juga, sudah 28 hari pula Taiga tidak pernah meninggalkan sisi Raia bahkan hanya untuk 15 menit. Ia tidak kuliah tidak juga pulang ke rumah, Theo dan Hana yang mengerti posisi Taiga tidak bermaksud untuk memaksanya pergi.
Mereka hanya terus ada di sisinya , sedangkan Pavetta sangat sibuk mengurus salon dan rencana pembukaan cabang baru di kota lain. Salon itu milik Hana, tapi ia percayakan pada Pavetta karena ia harus mengurus ketiga buah hatinya.
"Abang? Mau pulang dulu nggak nak? Udah sebulan ini kamu belum pernah istrahat yang bener, mamah kamu khawatir" Theo berharap Taiga mau memikirkan sarannya itu
"Bunda pah?" Theo menarik napas panjang sebelum menjawab tanya Taiga.
"Bunda kamu lagi sibuk bang, ada banyak banget yang diurusin, belum bisa dateng lagi... Tapi sering kok nelpon mamah, nanyain kabar kamu juga"
Theo harap-harap cemas dengan jawabannya sendiri, ia mengarang beberapa bagian untuk mencerahkan suasana hati Taiga. Namun sayangnya Taiga sangat mengerti, bahwa bundanya tidak sedikitpun pernah memikirkan tentang dirinya. Taiga adalah anak yang dibuang Pavetta dan dipungut keluarga Buamana, sejak pertama kali mamah Hana mengangkat tubuh kecilnya, Taiga tahu bahwa ia sudah kehilangan bundanya.
"Aku di sini dulu aja ya pah, sampe Raia bangun aja... Nanti semuanya aku tebus setelah itu" permohonan itu mendapat anggukan dari Theo, papahnya itu juga menambahkan usakan kasar pada rambut Taiga dan meninggalkan rasa hangat yang menenangkan.
Pavetta Cameron
Abang bakalan sibuk banget deh kayanya ini🥴 bakalan cape juga🌝 jadi mungkin akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama buat nulis lagi.......
Enjoy ya, semoga para reader aku yang tersayang semakin suka sama Terarium....
Abang juga udah makasih banget buat dukungan kalian yang begitu berharga, makasih banget yaaa minna🍉🍉🍉