Setelah memastikan Raia tertidur pulas, Theo melangkah menuju kamar Jenta. Ia ingin memastikan semua baik-baik saja, sebab semenjak di rumah sakit putrinya itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Tidak ada pertanyaan kritis seperti biasa, menjawab pun ia hanya seadanya. Belum lagi perihal Taiga yang tidak di sana saat mereka datang.tok...tok...tok
"Jen, papah boleh masuk?"
Setelah memastikan mendapat ijin dari sang empu kamar, Theo mendekati Jenta yang sedang duduk di kursi belajarnya, Theo mengambil tempat duduj di tepi kasur.
"R u Okay sayang?"
Untuk beberapa detik, Jenta hanya menatap Theo tanpa balasan, lalu tak lama ia balik bertanya.
"Papah... Kenapa Bunda benci abang? Kenapa abang setakut itu sama bunda?"
Ia tampak belum puas
"Abang kenapa pah?"
Tanya itu Jenta pendam, berat sekali perasaannya ingin mengutarakan. Jenta takut apa yang ia lihat dan dengar ternyata adalah rahasia.
"Sayang, bunda bukannya benci sama Abang... Bunda hanya butuh waktu dan dukungan dari kita semua, begitu juga Abang "
Jenta menatap Theo penuh makna, ia belum menemukan jawaban
"Abang kamu itu putra papah, mamah juga bunda. Terlepas apapun status dia, di rumah ini dia akan dapat kasih sayang yang sama dengan kamu dan kaka, nggak akan papah bedakan"
"Hanya saja bagi bunda sedikit berat, bunda belum bisa nerima masa lalu... Dulu jauh sebelum kalian lahir, bunda pernah bermaksud buang abang di depan rumah kita yang lama..."
"Bunda menerima perlakuan nggak senonoh dari beberapa orang dan akhirnya hamil, dia stress berat tapi juga nggak tega sama bayi yang dia kandung... Bunda bimbang, ia membenci kenyataan tapi juga mencintai kehidupan kecil di perutnya secara bersamaan..."
"Pada akhirnya bunda memilih untuk melahirkan Abang, tapi tetap nggak sanggup kalo setiap hari harus liat Abang makanya bunda buang abang ke depan rumah kita..."
"Beruntungnya kejadian waktu itu ketangkap basah sama mamah yang ternyata ada di taman samping lagi nyiram bunga, mamah bilang denger suara bayi lagi nangis dari pintu depan dan ternyata di sana lagi ada bunda sama bayinya lengkap dengan keranjang bayi sama surat, waktu itu mamah bilang posisi bunda lagi nyusuin abang. Mungkin buat yang terakhir kalinya..."
"Akhirnya usaha bunda buat ninggalin Abang gagal, mamah malah berhasil bujuk bunda buat cerita semuanya sampai akhirnya mereka mutusin buat membesarkan abang sama-sama... Kami pun dengan senang hati mengadopsi abang kamu, tapi rupanya luka bunda tidak sepenuhnya kering, seiring Taiga tumbuh besar semakin besar pula kemarahan bunda... Padahal sejak kecilpun Taiga nggak pernah bikin masalah, dia cerdas juga peka terhadap sekitarnya, dia seperti orang dewasa yang terjebak di tubuh anak kecil, abang nggak pernah ngeluh gimanapun sikap bunda ke dia meski bunda beberapa kali mukulin dia sampe berdarah-darah..."
"Kamu inget nggak? Waktu kakak dioperasi karna pembuluh jantungnya collapse dulu waktu masih kecil?"
Jenta mengangguk mengiyakan
"Waktu itu abang masih di rumah, masih siap-siap mau ke rumah sakit sama mamah... entah dari mana Bunda dengar Raia sakit setelah main sama abang di rumah terbengkalai yang biasa tempat kalian main dulu itu, bunda pukul kepala abang pake vas bunga di depan mamah... Abang sampai nggak sadar 3 hari Jen, sampai gegar otak abang kamu..."
Jenta kini kembali teringat, ia sempat bingung kenapa dulu saat Raia sakit lalu dioperasi Taiga tidak menjenguknya padahal Taiga adalah orang yang akan selalu ada di samping Raia kapanpun di manapun. Tapi saat itu Jenta masih kecil, ia tidak mengerti dan tidak terlalu perduli.
"Bunda hanya akan menyakiti abang kalau berkaitan dengan kamu ataupun kakak. Dia seolah bisa ngelakuin apa aja ke abang kalo kalian kenapa-kenapa... Mirisnya, abang kamu nggak lupa sama kejadian waktu itu, abang juga nggak lupa sama bundanya, sama hasrat dia yang sangat haus dengan kasih sayang bunda... Tapi bunda nggak pernah peduli, sampai hari ini pun abang masih memperjuangkan bunda"
Jenta menatap Theo, ada banyak sekali hal yang baru ia tahu sekaligus fahami saat ini. Kini Jenta mengerti, Taiga mana yang benar-benar adalah abangnya
"Apapun yang Jenta dengar, Jenta lihat, papah cuma minta satu hal... Tolong kamu ingat, kalau abang kamu sampai kapanpun nggak akan pernah berubah, abang kamu akan tetap jadi orang yang paling mencintai kita juga bunda"
Theo mendapat respon anggukan tanpa suara, ia lalu memeluk Jenta. Tampaknya Putrinya itu sudah lebih baik, rautnya pun sudah kembali seperti semula.
"Abang udah pulang pah?"
Theo melepas pelukannya
"Abang lagi nungguin kakak kamu di atas, Jenta tidur aja ya sayang... Besok harus berangkat pagi"
Setelah Jenta tertidur barulah Theo bisa bernafas lega, apanya yang tidak membenci Taiga? Bahkan orang yang sekilas melihatpun akan mengatakan jika Pavetta yang berdiri di depan Taiga akan melihatnya seolah siap menikam anak itu kapanpun. Tapi Theo tidak mungkin menceritakan itu pada Jenta, ia hanya bisa berharap putrinya itu bisa menjadi sumber dukungan yang kuat dan hangat bagi putra sulungnya, Taiga.
🍉🍉🍉
Dibawah temaram lampu tidur, Raia tampak menggeliat. Ia terbangun karena kerongkongan yang kering, saat mengucek mata Raia menyadari bahwa sebelum tidur ia tidak mematikan lampu, ia juga menyadari ada sosok lain yang duduk di tepi ranjangnya, sosok itu menyodorkan segelas air seakan sudah tau apa yang diinginkan Raia.
"Makasih bang"
Raia meminum habis air dalam gelas lalu menyerahkan kembali gelas kosong itu pada Taiga.
"Udah tidur lagi, besok harus sekolah"
Taiga merapikan selimut Raia lalu beranjak pergi hingga Raia kembali memanggilnya.
"Abang... Ma-"
"Udah tidur!"
Taiga berbalik cepat, membaringkan diri di kasurnya lalu menutupi seluruh badannya dengan selimut bulu kesayangannya. Taiga memang belum sepenuhnya kembali, ia hanya sedang berusaha.
Minna, maaf banget yaa🙏🙏🙏🙏 terkhusus buat kalian yang nungguin (kalo ada).... Ada masalah 1 2, Puji tuhan ini udah beres.... Enjoy ya minna pokoknya abang minta maaf banget udah kelamaan