Dulunya, bumi hanya setitik debu di angkasa. Menari-nari mengelilingi pusat energi, sebelum kemudian organisme membuatnya nyata; hidup. Satu persatu penghuni muncul. Sebagian bilang dari tanah, sebagian bilang dari evolusi. Yang jelas, perlu waktu lama untuk membuat bumi bisa didiami dan ramah kepada para penghuni.
Tidak hanya membujuk alam untuk sedikit bersahabat, penghuni bumi juga harus bersiap menghadapi hal-hal luar biasa yang tidak akan mampu mereka atasi sendiri.
Untuk itulah, awalnya, para Eternals diciptakan.
Penghuni bumi tidak bisa sepenuhnya mempertahankan diri dan kehidupannya dengan merayu angin atau ombak, mengharap sisa-sisa kebaikan alam yang tidak henti-hentinya menggerus mereka.
Mereka, menandai karakteristik segala sesuatu yang ada di muka bumi, harus diajari.
Saat terlalu banyak hal yang dikorbankan dan semakin berharga nyawa yang dibebankan, Eternals mendarat di pangea. Penghuni wilayah itu keluar dari gua dan tenda mereka, memandang ingin tahu, nyaris waspada bahkan. Padahal seperti halnya para Eternals, mereka pun awalnya adalah hal baru di muka bumi.
Namun setelah lama menapak tanah, hal yang mereka pahami datang dari udara–sebab mendarat adalah konsep yang tak terjamah oleh mereka–adalah apex predator.
Sudah puluhan tahun mereka mencoba kehidupan; berkelompok untuk mempertahankan diri, berburu dan meramu untuk tetap hidup, hingga menciptakan alat yang membantu kegiatan mereka. Seiring dengan kebaikan bumi, mereka belajar bahwa alam sepenuhnya tidak tebang pilih kepada siapa mereka memihak. Kalaupun mereka berhasil melewati tantangan-tantangan itu, mereka masih bergantung pada semesta untuk menjauhkan mereka dari penyebab kematian utama mereka.
Apex predator sudah mereka temui sejak kehidupan-kehidupan pendahulu mereka. Dari pertemuan itu, mereka mengembangkan kemampuan dan pola berpikir yang rumit untuk menghindarinya. Bukan menghadapinya.
Jadi saat benda hitam berbentuk pipih dan persegi itu mengawang di atas mereka, sukses menyingkirkan separuh predator yang mulai merisak pemukiman, mereka terpaku di tempat.
Dari suatu sisi benda asing itu, melesat sosok asing yang berpakaian–konsep asing lainnya–hitam yang mengawang di udara, menghujani sesuatu; seperti sinar matahari yang terkonsentrasi, tangkas membabat tubuh pare predator yang masih berusaha kembali tegak usai terkena gelombang angin.
Para predator itu belajar dengan cepat, menyingkir dan kembali ke hutan-hutan lebat atau kedalaman lautan saat sadar bahwa para penghuni–manusia–kini tidak sendiri.
Hal yang sama disadari para manusia yang mulai mendekat.
Benda pipih itu mengawang konstan, terbuka di satu sisi, dan keluarlah beberapa sosok orang dengan pakaian senada dengan yang digunakan sosok yang masih terbang itu.
Sosok paling depan, meski tubuhnya kecil, tampak penuh kendali saat membuka mulut. "Aku ingin mereka tahu bahwa kita tidak melukai manusia." Langkahnya tak terdengar saat menuruni landasan. Matanya terpancang ke kumpulan manusia yang menatap awas.
"Manusia, hm. Fancy word. Aku kira mereka tak akan langsung paham apa maksudnya."
"Haech." Sosok terdepan kembali berkata.
"Alright, alright. Bahasa, cih. Taruhan para manusia ini baru bisa berbahasa sepuluh dekade lagi." Haech, sosok berambut perak dan berkulit berkilauan itu berkata ke arah sosok lain di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Eternal | NOMIN
FanfictionRibuan-jutaan tahun yang lalu, sebuah benda berbentuk pipih persegi mengawang dan membawa serombongan penyelamat untuk membantu makhluk dengan intelegensi tertinggi, yang kemudian disebut manusia, bertahan hidup. Musuh-musuh manusia berevolusi, berm...