Xiaojun mengapit hpnya dengan telinga dan bahu. Tangannya cekatan menumpuk berbox-box sayuran hasil perkebunan ke truk berbak terbuka yang parkir di depan kantornya itu.
"Aku nggak bisa, oke? Aku sudah ambil lembur dua minggu terakhir dan ini kesempatanku untuk libur. Aku mau pulang." Tegas Xiaojun.
Alisnya yang tebal menukik seiring dengan kerut-kerut di keningnya, tanda ia sedang mempertahankan argumennya dengan lawan bicaranya.
"Sudah, ya. Kalau kamu nggak berniat datang untuk membantuku menyelesaikan packing, lebih baik nggak usah menghubungi sama sekali." Klik. Sambungan diputus. Xiaojun mengantungi hpnya dengan bersungut-sungut. Rekan kerjanya benar-benar tak kenal ampun dalam kejar target. Sudah hampir sebulan ia tidak melihat wajah orang tuanya dan Xiaojun merasa bersalah meninggalkan mereka terlalu lama.
Saat minggu lalu mereka video call, Xiaojun melihat bahwa dua adiknya pulang seperti biasa. Tapi ia bisa melihat wajah lembut Papap saat menatapnya di layar hp. Sejak kejadian tahunan lalu, Xiaojun tidak berniat lagi mengingkari janji. Meski ia tidak sepenuhnya juga disebut berbohong, tapi ia merasa bersalah meninggalkan rumah setelah lulus kuliah.
Ia dan teman-temannya mengembangkan aplikasi untuk memasarkan hasil pertanian dan perkebunan para petani di pinggir kota dengan mempertahankan kualitas produk. Sebelumnya, Yayah dan teman-temannya harus bolak-balik pergi ke kota untuk menjual hasil tanah mereka. Xiaojun yang tumbuh dengan iklim pertanian yang kuat ini menemukan solusi modern saat berkuliah di jurusan IT. Awalnya, ia hanya mengembangkan website untuk mempertemukan petani dan pembeli mengingat harga yang sudah diberikan distributor terkadang tidak rasional.
Namun saat mendapatkan banyak masukan dan minat untuk website tersebut, Xiaojun tergugah untuk memberi lebih. Jadi ia dan teman-temannya bekerja sama, menyewa tempat tinggal sekaligus kantor tempat mereka bisa maksimal mengerjakan proyek besar itu. Mereka mencari sponsor dan klien sendiri sebab Xiaojun sudah punya koneksi dengan para petani di tempat tinggalnya.
Kini sudah tahunan berlalu dan proyeknya sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan, ia tetap mempertahankan janjinya. Bukan karena rasa bersalah yang tak mungkin bisa ditebus, tapi juga demi kasih sayang dua orang tua yang selalu mendukungnya. Yayah dan Papap tidak pernah menutupi rasa bangga mereka atas apa yang Xiaojun kerjakan. Mereka justru memberi banyak masukan dan mengizinkan Xiaojun bereksperimen sesuai dengan kemauan dan kemampuannya.
Sulit rasanya merasa benci dengan kedua orang itu saat ia tahu ia sepenuhnya dikasihi.
Begitu box terakhir naik ke atas bak truk, Xiaojun menghela napas panjang. Meski sudah terbilang jauh lebih sukses, ia masih suka melakukan segalanya sendiri. Terutama di akhir pekan seperti ini saat banyak pegawainya libur. Ada lonjakan permintaan pasar menjelang liburan jadi ia terpaksa lembur selama beberapa saat, membuatnya praktis berkonsentrasi pada pekerjaannya dan mengabaikan apa saja.
Namun hari ini, ia sudah bertekad pulang. Tak peduli meski ia akan menempuh jalan panjang nan sepi seorang diri. Ia harus pulang. Entah mengapa, ada rasa yang bergolak di perutnya, menuntutnya untuk segera melihat wajah orang tuanya secara langsung. Mungkin karena jolt yang sering terjadi, mungkin karena ia sudah terlalu rindu, ia juga tak yakin.
Lagipula, saat pulang ia tak hanya bertemu dengan Papap dan Yayah. Ia akan mampir ke Momi dan Popi, juga teman-teman Yayah dan Papap lainnya. Selain karena ia bagian dari komunitas itu, ia juga harus banyak berhubungan dengan para petani, mendengarkan keluh kesah dan membantu mereka semampunya.
Tahunan bekerja di kota yang padat, sibuk, dan menjemukan membuatnya menghargai orang-orang hangat dari tempatnya tumbuh.
Setelah bak truk ditutup, ia menepuk tubuh truk. Sopir mengacungkan tangan dari tempatnya dan berpamitan dengan suara keras, siap mengantarkan produk terakhir ke sebuah supermarket yang tak jauh dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Eternal | NOMIN
FanfictionRibuan-jutaan tahun yang lalu, sebuah benda berbentuk pipih persegi mengawang dan membawa serombongan penyelamat untuk membantu makhluk dengan intelegensi tertinggi, yang kemudian disebut manusia, bertahan hidup. Musuh-musuh manusia berevolusi, berm...