Jaemin harusnya tahu saat ia memutuskan untuk mencintai Jeno, ia takkan dihadapkan dengan persoalan remeh temeh ala manusia pada umumnya. Sebab ia tak hanya mencintai sosok yang penuh dengan kemampuan mengagumkan dan tidak menua. Ia juga harus menerima segala beban kehidupan Jeno selama ribuan tahun lamanya.
Jadi begitu Jeno selesai menceritakan kisah hidupnya yang dirangkum sesingkat mungkin dalam waktu semalam, ia terdiam. Lama.
Jeno juga tak ingin mengganggu. Ia ikut diam dan menunggu. Ia tidak ingin membebani Jaemin lebih dari ini. Cukup adil baginya mengungkapkan perasaannya dan menjelaskan secara tidak langsung konsekuensi yang harus dihadapi Jaemin di masa mendatang.
"Jadi..." Jaemin akhirnya berkata dengan suara serak. "Kamu hanya akan menunaikan tugas?"
Jeno terdiam sejenak, berusaha memilah kata-kata yang baik untuk menyikapi situasi ini. "Awalnya. Sampai Deviants menghilang beratus-ratus tahun lalu dan yah... Kami tercerai-berai."
"Oke." Jaemin mengangguk, berusaha mengakses semuanya dengan kepala jernih. Ia menarik napas dalam-dalam. "Kalau Deviants kembali, artinya kamu akan pergi?"
"Kalau," Jeno menekankan, "kalau Deviants kembali, aku akan kembali bertugas sesuai dengan kemampuanku. Bukan karena aku ingin terus menjadi Eternals. Tapi lebih karena aku tidak punya pilihan, kau tahu? Aku tidak di sini atas kehendakku sendiri. Meski begitu... Aku akan melindungi manusia sebab aku peduli pada mereka."
"Really?"
Jeno mengangguk mantap. Tubuhnya yang tegap tampak letih, duduk di atas tempat tidur dan menghadap ke jendela. Mentari mulai keluar di ufuk timur. Mereka sudah bicara dalam waktu yang lama.
"Aku menyadari setelah tinggal bersama manusia bahwa mereka layak dilindungi." Lalu ia menoleh menatap Jaemin. "Tapi kamu tahu prioritasku, Nana."
Kamu; kamu prioritasku. Itu yang ingin dikatakan Jeno. Tapi tak perlu sebab Jaemin sudah mengerti tanpa Jeno perlu menyuarakannya keras-keras.
Jaemin hanya mengangguk samar. Perasaannya kepada Jeno mendadak menjadi tidak seberapa dibandingkan perjalanan hidup Jeno yang luar biasa.
"Jangan," tiba-tiba Jeno meraih tangan Jaemin dan meremasnya lembut. Hati Jaemin seolah ingin meledak tapi ia masih menolak memandang Jeno. "Nana, hei," panggil Jeno lagi.
Perlahan Jaemin mengangkat wajah. Mereka bersitatap.
"Jangan berkecil hati. Jangan berpikir bahwa kamu tidak penting hanya karena aku hidup lebih lama."
"Jeno," Jaemin mencoba berkata. "Kamu nggak Cuma 'hidup lebih lama'. Kamu literally superhero dan aku Cuma guru TK."
Meski itu tak lucu, Jeno tertawa. Suaranya begitu merdu hingga Jaemin tak kuasa memprotes.
"Lalu kenapa?" mata Jeno bersinar menghangat, seiring genggaman tangannya. "Kamu dicintai oleh murid-muridmu. Sementara aku benar-benar orang asing. Aku tidak punya keluarga. Kalau boleh bilang, aku yang justru merasa segan karena mencintaimu."
Demi mendengar bahwa Jeno mencintainya, Jaemin menelan ludah dengan susah payah.
"Kamu juga cinta dia, Jeno?" perlahan Jaemin bertanya, terlalu takut untuk sekadar melafalkan nama suami Jeno.
"Dulu." Jawab Jeno tegas. Raut mukanya bersungguh-sungguh saat melanjutkan dengan, "apa yang terjadi di antara kami sudah terlewat. Aku sudah nggak bertanya-tanya lagi dan berdamai dengan diriku sendiri, Nana. Untuk pertama kalinya aku merasakan bagaimana waktu berjalan. Jadi jika aku nggak tumbuh dan melewati masa-masa suram itu, mungkin selamanya aku nggak bisa bangkit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Eternal | NOMIN
FanfictionRibuan-jutaan tahun yang lalu, sebuah benda berbentuk pipih persegi mengawang dan membawa serombongan penyelamat untuk membantu makhluk dengan intelegensi tertinggi, yang kemudian disebut manusia, bertahan hidup. Musuh-musuh manusia berevolusi, berm...