Mereka tak punya waktu untuk terperanjat lebih lama. Begitu semua menyadari betapa serius kondisi mereka, Jisung melompat, memeluk Chenle erat-erat. Mark dan Jeno seolah berkomunikasi tanpa kata dan dalam sekejap, Mark sudah sibuk bertelepon.
"Jen..."
"Its okay, Nana." Jeno meraih tangan Jaemin yang dingin, mengecupnya dalam-dalam. Tanpa menunggu, ia memeluk Jaemin. "Thank you for being here with me."
Jaemin hanya bisa balas memeluk dan mengangguk samar. Dalam kondisi baru yang benar-benar aneh ini, pelukan Jeno adalah satu-satunya yang mengingatkan dirinya untuk tetap waras.
Mark kembali usai panggilan telepon entah keberapa. "Jet sudah siap menunggu. Ayo."
Kelima pemuda itu berderap keluar dari ruangan. "Makan siang sudah disiapkan di jet. Kalian pasti lapar," ujar Mark. Dengan limo, mereka ke landasan pacu.
"Kita harus menghemat energi," ujar Mark. "Tidak ada berlari atau terbang mengitari bumi," pandangannya terarah ke Jeno dan Chenle.
Begitu tiba di landasan pacu, mereka langsung digiring ke pesawat pribadi Mark yang sudah siap lepas landas. Interior pesawat yang mewah membuat Jaemin nyaris tak percaya mereka berada di badan pesawat. Begitu mereka duduk di sofa, pesawat sudah bersiap untuk take off.
Saat pesawat sudah di angkasa, para pramugari bergerak mengeluarkan welcome drink. Untuk pertama kalinya, karena tak ada yang bisa mereka lakukan, semua orang tampak sedikit rileks. Jisung dan Mark mengobrol dalam suara rendah sementara Chenle meletakkan kepalanya ke bahu Jisung. Usai the big revelation di aula tadi, keduanya tampak sepakat dalam diam untuk berdamai.
Jeno sedang membaca berkas yang diberikan Mark tentang penelitian senjata terbaru, tampak mencari apa pun yang berguna demi tugas mereka. Sementara Jaemin tampak sedikit overwhelmed, tak kuasa menyentuh minumannya dan hanya diam di sofa.
Makanan mulai dikeluarkan dan berbeda dari bayangan Jaemin tentang makanan pesawat yang tidak menarik, semuanya seolah dimasak langsung dari dapur restoran, hangat dan menggairahkan. Namun tak ada yang bergerak menyentuh piring sehingga Jaemin memilih larut dalam bayangannya sementara awan seolah stagnan melayang di luar jendela.
Bagaimana aku bisa di posisi ini? Jaemin bertanya-tanya dalam hati. Aku hanya guru TK. Beberapa hari yang lalu aku masih di kelas, mengajarkan origami kepada murid-muridku. Lalu dalam waktu dua hari, semua ini terjadi begitu cepat. Apa artinya semua ini?
Saat ia larut dalam lamunannya, tiba-tiba sentuhan mampir di bahunya.
Ia mengangkat wajah untuk bersitatap dengan Mark.
"Makanlah, sayang." Ia menyodorkan alat makan. Lalu berpaling ke arah Jeno yang menatap mereka dengan pandangan yang tidak bisa dilukiskan. "Kau tidak lupa kalau Jaemin manusia, kan, Jeno?"
Jaemin merasa seutas tali meliliti perutnya saat Jeno dan Mark saling pandang selama beberapa detik. Tentu karena semua tahu, mereka telah beberapa saat menghindari hal yang mengusik mereka selama ini.
Jaemin benci bahkan saat ia belum bertemu pemuda itu, dirinya seolah hanya didefinisikan sebagai "pengganti Renjun dalam hidup Jeno yang tidak terukur". Ia tak perlu diingatkan soal itu, terima kasih.
"Know your place." Jeno berkata dingin. Ia bangkit dan menampik tangan Mark yang masih terulur di depan Jaemin. "Walau kita punya takdir yang tidak bisa diubah, bukan berarti kamu bebas menggunakan itu untuk membuat orang lain merasa buruk. Justru karena kita sama, aku bisa mengatakan 'fuck off' dan uruslah dirimu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Eternal | NOMIN
FanfictionRibuan-jutaan tahun yang lalu, sebuah benda berbentuk pipih persegi mengawang dan membawa serombongan penyelamat untuk membantu makhluk dengan intelegensi tertinggi, yang kemudian disebut manusia, bertahan hidup. Musuh-musuh manusia berevolusi, berm...