Menjamah Yang Tidak Pergi

275 59 8
                                    

"Bye, my babies." Taeyong mengecup kedua anaknya bergantian saat Sungchan dan Jaemin berpamitan untuk kembali ke kota.

"Jaga diri. Pastikan kalian punya tas emergency. Para ahli di tv sudah berdebat tentang kapan jolt akan benar-benar menghantam kita." Pesan Jaehyun.

Jaemin mendengus geli. "Yayah terlalu sering nonton acara debat konspirasi di tv."

"Bukan konspirasi, Nana..." bela Jaehyun.

"Nana..." Taeyong menatap Jaemin dengan alis terangkat.

Jaemin pun menghela napas. "Oke, oke. Yayah benar. Kekhawatiran Yayah beralasan."

Barulah Jaehyun tersenyum. "Good boy. Do me a favor and do as I say, okay, son?"

Jaemin mengangguk dan membiarkan Jaehyun memeluknya lalu mengecup keningnya. Ia balas mencium pipi Jaehyun. Setelah itu, Jaehyun menepuk bahu Sungchan dan menyambar dua tas di lantai dan membawanya ke mobil.

"Biar aku aja, Yah," ujar Sungchan. Tapi bukan Jaehyun namanya kalau tidak keras kepala. Ia tetap meletakkan dua tas itu di bangku penumpang, memastikan bahwa botol air mineral dan bungkusan berisi snack buatan Taeyong ada di tempat yang mudah diraih sehingga dua anaknya tetap nyaman selama perjalanan.

Setelah itu, Jaehyun memastikan roda mobil Sungchan.

"Aku baru membawanya ke bengkel minggu lalu, Yah," Sungchan nyengir melihat tingkah ayahnya.

Taeyong bersidekap. "Biarkan Yayahmu, kids. Dia sayang pada kalian."

"And we love you too, Pap," Jaemin memeluk Taeyong, mengecup pipi ayahnya itu. Sungchan meniru.

Seperti biasa, Taeyong langsung luluh. Senyumnya terkembang dengan sikap hangat anak-anaknya. Jaehyun yang sudah selesai mengecek sekilas kelayakan kendaraan anaknya ikut tersenyum. Selalu tidak mudah melepaskan anak-anaknya usai akhir pekan yang hangat bersama di rumah mereka yang hangat. But its inevitable. Biar bagaimanapun, anak-anaknya sudah dewasa dan meski Taeyong selalu memperlakukan mereka seperti bayi, anak-anak punya kehidupan mereka sendiri sekarang.

Lalu pandangannya beradu dengan Jaemin. Anak tengahnya itu tak pernah tampak menua, bahkan saat Jaehyun dan Taeyong sudah menginjak paruh baya dan Sungchan sudah melampaui tinggi kakak-kakaknya. Ia mengenakan sweater biru muda yang melapisi kemeja putih. Celana kremnya digulung di mata kaki. Sulit melihat Jaemin tanpa hasrat ingin memeluk. Jadi Jaehyun memeluknya.

"Yayah," bisik Jaemin.

Usai pelukan itu, Jaehyun mengeluarkan sesuatu dari kantung bagian dalam jaketnya. "For you."

"Hm?" Jaemin mengerutkan kening melihat buku yang diangsurkan tangan ayahnya yang keriput. "The Prophet?" tanyanya saat melihat nama pengarang buku itu.

Jaehyun mengangguk. "Buku pertama yang kamu pegang saat kamu kecil dan membuatmu ingin bisa membaca. Papap membacakannya untukmu tapi kamu tidak pernah puas. Sekarang kamu sudah bisa membacanya."

Jaemin menatap ayahnya haru. Ia sudah membaca buku itu, tentu saja. Tapi tindakan Jaehyun membuatnya tersentuh.

Jaehyun berdehem saat melihat kilatan air mata di mata Taeyong. Ah, suaminya itu selalu saja lembut. "Sengaja Yayah berikan padamu karena tahu Sungchan tidak suka baca buku." Ia menunjuk buku itu dan Sunghcan bergantian dengan nada pura-pura marah.

Sungchan hanya mendengus. "Semua buku di rumah sudah kami baca, Yah. Ingat?"

"Tetap saja." Gerutu Jaehyun.

Dear My Eternal | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang