Yang Hancur Lebur Akan Terobati

255 60 1
                                    

Jumlah para pelayat sudah surut saat Jaemin mengurung diri di dalam mobilnya. Beberapa jam yang lalu, ia menyaksikan Jeno yang menatap wajah Yayah yang kaku di peti mati. Ia tampak berduka. Dikecupnya kening Yayah pelan sebelum memeluk Papap yang kembali menangis keras.

Sementara Jaemin hanya mampu menatap itu dengan pandangan gamang. Ia tak menyangka Jeno akan kembali setelah Yayah pergi. Ia bertanya-tanya apa yang akan Yayah lakukan saat bertemu dengan Jeno. Semuanya terasa begitu surreal, terutama karena kepergian Yayah yang tiba-tiba.

Mendapati matanya kembali terasa berat, Jaemin menyambar kotak tembaga di atas lemari dan keluar. Tak dihiraukannya panggilan Sungchan dan ia masuk ke mobilnya. Di bangku pengemudi, ia kembali menangis.





——





Jeno menatap dapur yang kini sudah jauh berubah itu. Rupanya tak seperti bagian luarnya, bagian dalam rumah itu sudah mengalami perubahan dari yang terakhir diingat Jeno.

"Jen," sapa Xiaojun yang sedang duduk sendirian di meja makan. Jeno pun mendekat.

"Minum?" tawar Xiaojun.

Jeno menggeleng.

Keduanya pun terdiam.

Hari mulai gelap dan lampu-lampu dinyalakan. Di rumah duka, semua orang bicara dengan berbisik hingga Jeno tak bisa membedakan apakah para pelayat masih setia di ruang tengah atau itu suara angin belaka. Mendung pekat bergolak di luar. Tanda hujan akan turun deras dan tak usai-usai malam ini.

"Aku menyalahkan diriku sendiri, Jeno." Akhirnya Xiaojun berkata. "Kalau hari itu aku nggak teledor sampai jatuh, kamu nggak perlu menggunakan kekuatanmu untuk menyelamatkanku, sehingga kamu nggak bakal bertengkar dengan Yayah. Kalau kamu nggak bertengkar sama Yayah, kamu pasti tetap tinggal."

"Aku memang akan pergi, Jun. Cepat atau lambat. Sama sekali bukan salahmu," ujar Jeno hati-hati. Ia tahu hati yang sedang berduka diliputi kekalutan yang amat.

"Setidaknya kamu pergi saat aku dan adik-adik lebih besar. Saat kami bisa lebih mengerti alasannya. Sungchan besar dengan pertanyaan 'mengapa', dan tak ada satupun dari kami yang bisa menjawabnya," balas Xiaojun kelu. Ia menyeka air matanya dengan ujung lengan bajunya.

"Dan Jaemin..." akhirnya ucapan itu terlontar. "Kamu tidak tahu betapa terpukulnya anak itu."

Jeno tercenung. Ia hanya mampu menunduk. Jaemin pasti berteriak memanggil.

"Aku bertengkar dengan Yayah dan Papap saat memutuskan nggak akan meneruskan pertanian ini seperti mereka. Aku ingin lebih dekat dengan kota. Jaemin dan Sungchan juga begitu. Diam-diam aku merasa, ini semua karena kami terlalu takut ditinggalkan. Jadi kami tidak ingin memelihara ikatan yang di kemudian hari akan tercerabut begitu saja. Mungkin hari ini pembuktiannya. Yayah benar-benar pergi meninggalkan kami. Dan tidak akan kembali."

"Aku berharap bisa melakukan segalanya lebih baik lagi, Jun," tutur Jeno lembut. Ia merasa bersalah. Tapi tak ada gunanya minta maaf dan ia tahu Xiaojun tidak menginginkan itu.

Lalu Xiaojun mendongak, menatap lelaki yang dulu merupakan bagian dari keluarganya yang berharga itu nanar. "Lalu kenapa?"

Jeno sudah akan membuka mulut, tapi urung. Pertanyaan itu mungkin lebih baik tidak terjawab sebab Jeno juga tidak tahu jawaban dari segala permasalahan hidupnya. Xiaojun kembali menghapus air matanya.

Dear My Eternal | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang