Meneruskan dengan Memori

318 66 9
                                    

Dunia sedang mencair.

Setidaknya itu yang Jaemin rasakan sebab pakaiannya terasa begitu berat bertumpuk di luar kulitnya yang lengket. Ia menyeka pelipisnya dengan menggerutu. Cuaca ini diperparah dengan polusi udara dan suara yang membuatnya merasa ingin cepat-cepat menyingkir dari keramaian.

Namun melihat Mr. Moon di depannya masih sibuk memilah cinderamata, harapannya semakin kecil.

Sekali lagi Mr. Moon berbalik. "Bagus yang mana, Jaemin?"

Jaemin menahan diri untuk tidak meledak di hadapan orang yang jauh lebih tua dan ia hormati itu. Ia tersenyum sopan dan sebisa mungkin memilih satu dari tiga gantungan kunci yang berada di tangan Mr. Moon. Masing-masing berwarna kuning, biru, dan merah. Jaemin menunjuk gantungan kunci berbentuk kelinci berwarna kuning dengan harapan anak-anak pasti menyukainya.

Namun ucapan Mr. Moon membuatnya sedikit tergeragap. "Ah, harusnya saya tahu. Kamu pasti akan pilih yang kelinci." Pria itu tersenyum simpul dan membeli sesuai pilihan Jaemin.

Jaemin terdiam, tak menyangka jika setelah sekian tahun, ia masih punya titik lemah terhadap kelinci.

"Kita masih harus membeli cat dan kanvas." Setelah mereka meninggalkan kios di tengah pasar yang sesak itu, Mr. Moon kembali berujar.

Jaemin yang sudah merasa seluruh air di kepalanya menguap langsung menyahut, "saya yang akan membelinya, Mr. Moon. Anda bisa tunggu di mobil."

Mr. Moon pun mengangguk setuju. Jadi mereka berpisah. Mr. Moon membawa seluruh belanjaan ke mobil di parkiran sementara Jaemin ke toko alat-alat lukis yang terletak sedikit keluar dari pasar. Mr. Moon akan menunggu di luar toko, jadi mereka bisa lebih cepat.

Belanja dengan atasannya itu tidak hanya membuat Jaemin harus terus berperilaku santun, tapi juga melatihnya untuk bersabar sebab berbeda darinya, Mr. Moon tampak menikmati betul suasana pasar dan tak henti-hentinya mengomentari segala sesuatu seolah Jaemin adalah anak TK.

"Apa dia lupa, ya, kalau lagi bersamaku. Dipikirnya aku ini murid-murid kami," gumam Jaemin sambil melangkah cepat. Ia sudah tak tahan lagi berada dalam kerumunan orang di hari yang belum beranjak siang ini. Belum juga jam sepuluh pagi tapi matahari rasanya sudah begitu prima bersinar dan menyiksanya. Ia yang tak punya persiapan pergi ke pasar pun harus rela berkeringat dalam balutan kemeja formal dan celana bahan saat yang diinginkannya sekarang hanya mengenakan kaus tipis dan celana pendek.

Jaemin tak sabar untuk segera mengakhiri hari.

"Oh!" namun rupanya ia harus kembali diuji sebab seseorang dengan telak menabraknya, menumpahkan separuh isi kaleng minuman bersoda yang dipegang lelaki itu hingga membasahi pakaian Jaemin.

Orang-orang terhenti di sekitar mereka, tapi saat tahu tak ada yang terluka, semuanya kembali normal. Tinggal Jaemin dan lelaki itu yang masih saling berhadapan dengan diliputi keterkejutan.

Jaemin menarik napas cepat.

"Sori. Aku bisa membantumu tapi kayaknya kamu terburu-buru." Belum juga Jaemin membuka mulut untuk protes, orang yang menabraknya itu lebih dulu bicara. Lelaki itu sedikit lebih pendek dari Jaemin dan mengenakan masker, membuat Jaemin tak bisa melihat apapun selain sosoknya yang dibalut sweater (really? In this fucking weather?) dan celana jin.

"Aku memang terburu-buru. Thanks to you yang membuat segalanya menjadi lebih sulit," geram Jaemin sambil berusaha mengusap cairan lengket di sekujur tubuhnya.

Dear My Eternal | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang