Berdamai

249 55 4
                                    

Taeyong panik saat mengetahui apa yang terjadi pada putra keduanya. Seolah disadarkan dari sisi trance-nya beberapa hari belakangan, ia memastikan Jaemin baik-baik saja dan tak perlu ke rumah sakit.

"Serius nggak apa-apa, Nana? Kalau Nana bohong, Papap marah lho, ya," ancamnya. Lalu ia menoleh ke arah dua anak dan sahabat-sahabatnya. "Kalian kenapa nggak bilang, sih, kalau Nana kecelakaan! Bisa-bisanya ngebiarin aku istirahat padahal anakku lagi sakit begini!" Ia mulai mengomel.

Sungchan, Xiaojun, Ten, dan Johnny hanya tersenyum dengan bibir rapat, tahu betul untuk tidak menyanggah Taeyong. Dengan bersungut-sungut, usai mengecup puncak kepala Jaemin, ia pun keluar dari kamar putra keduanya diikuti anak-anak dan sahabat-sahabatnya.

Jeno masuk tak lama kemudian, mengenakan kemeja flanel dan sweatpants yang tampak nyaman. Jaemin terpana sejenak melihat lelaki itu keluar dari 'penampilan superhero-nya' kemarin.

"Biasa?" tanya Jeno yang membawa nampan berisi sup jagung dan teh hangat.

Jaemin mengangguk. "Sepertinya Papap nggak akan berhenti mengomel dalam waktu dekat," jawabnya. Lalu dengan suara lebih lirih, ia melanjutkan, "setidaknya dia sudah bisa berekspresi dan mengomel. Its nice."

Jeno meletakkan nampan ke meja dan duduk di kursi. "Dia ayahmu. Dia nggak akan membiarkan anak-anaknya kehilangan figur orang tua."

Jaemin manggut-manggut gamang. Baru beberapa hari sejak kepergian Jaehyun tapi ia masih tak bisa mengendalikan air matanya.

"Nana, hei," panggil Jeno sambil meletakkan tangannya di lutut Jaemin. Senyumannya berkata bahwa semua akan baik-baik saja dan untuk kali ini, Jaemin berharap bisa mempercayainya.

"Makan, yuk," Jeno meraih mangkuk sup dan mengangsurkannya kepada Jaemin. "Bisa sendiri?"

Jaemin mengangguk. Meski tak sedikitpun merasa lapar, ia harus makan sebelum minum obat pereda nyeri. Jeno menemaninya dengan sabar. Berbeda dari sebelumnya, keheningan yang kini menyelimuti mereka lebih menenangkan. Baik Jaemin maupun Jeno tak keberatan dengan ini.

"Mobilku... gimana?" tanya Jaemin setelah menandaskan mangkuk supnya.

Jeno meraih mangkuk itu dan balik memberikan segelas teh. "Xiaojun sudah membawanya ke bengkel tadi. Akan butuh waktu untuk memperbaikinya, Nana."

"Sorry."

"Don't be." Jeno memperingatkan dengan lembut. "Yang penting kamu nggak apa-apa. Sungguh. Hanya saja, kamu akan sedikit kesulitan untuk bepergian selama beberapa minggu."

"Aku bisa terbang, you know..." suara Jeno mengecil di akhir kalimatnya.

"Lalu?" Jaemin mengangkat satu alisnya.

"Aku bisa membantumu... kalau kamu mau ke mana-mana..." Jeno tak percaya ia akan terbata di depan Jaemin. Namun sulit baginya untuk berkata dengan lancar saat Jaemin kelihatan seperti itu dan memandangnya seperti itu pula. Perut Jeno mendadak dikuasai gejolak yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Wajahnya langsung memerah.

Jaemin tertawa mendengarnya dan Jeno bersumpah ia tak pernah mendengarkan tawa semerdu itu sebelumnya.

"Terima kasih tawarannya, Jeno. But I'm afraid I'm not really suitable for flying. Keren, sih, tapi aku nggak seberani kamu."

Jeno pun balik tersenyum. "Aku akan membuatmu terbiasa, kalau begitu."

Jaemin mengalihkan pandangan dan untuk sesaat tak ada yang berbicara di antara mereka.

Dear My Eternal | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang