Jelang tengah malam saat ingin mengambil air minum, ia melihat dosennya berdiri di depan kamar dengan gelisah. Sesekali mengotak atik I-Phone tercanggihnya sambil menempelkan di telinga seperti. menghubungi seseorang.
Bumi menggeleng-geleng.
Pak Airlangga apa bapak itu tidak tahu kalau di desa ini tak ada sinyal?
Baru ia memutuskan hendak pergi, ringisan wajah dosennya dan jemarinya yang sesekali memegang perut membuatnya menahan langkah.
"Pak, Bapak kenapa?" Sepelan mungkin ia bertanya, tetap saja Airlangga terkejut.
"Aduh, Mi. Di sini ada toilet enggak. Saya sudah cari tak melihatnya." Wajahnya terlihat seperti menahan sakit.
Astaga!
Giliran Bumi terkejut. Namun, ia sadar jika sakit perut itu sesuatu yang menyiksa dan kalau ditahan bisa-bisa tumpah di mana saja. Ini pasti gegara makanan pedas dan jengkol yang dipaksakan Awan. Anak itu, memang pembawa masalah dari dulu.
"Ada, Pak Er. Di sini, toiletnya alami, tapi. Enggak modern kaya di kota." Ia menatap khawatir wajah bosnya.
"Apa saja, fungsinya sama, 'kan?"
"Iya, sih, Pak. Tapi --"
"Cepat, Mi! Atau saya pecat kamu!"
"Ckk, dah kaya gitu aja masih galak, " gumamnya.
"Apa kamu bilang?"
"Eng-ggak, Pak. Mari, ikut saya." Bumi mengelak dan mengajak Airlangga pergi.
Sebenarnya ia panik. Di sini tak ada toilet. Kamar mandi yang hanya di kelilingi di bawah adalah tempat cuci piring dan beras saja. Satu-satunya toilet yang ada ya ke sungai!
Namun, ke sungai tengah malam begini, apa jadinya ...
"Mi! Cepat saya sudah tak tahan."
Tak ada waktu lagi, Bumi bergegas menyambar peralatan mandi dan jacket di kamarnya.
Kemudian ia mengajak Airlangga keluar.
"Kemana, Mi? "
"Ikuti saya, Pak."
"Masih jauh, Mi?" Tak henti Airlangga yang biasanya cool itu bertanya. Bumi sebenarnya risih. Namun ia memaklumi, kalau bosnya itu sedang kesakitan.
"Sabar, Pak. Bapak masih bisa tahan, 'kan?"
"Iyalah, Mi."
Menembus malam mereka menuju sungai di bawah sana. Walaupun kesakitan dan kesal karena Bumi mengajak menembus kegelapan desa yang rimbun seperti hutan, ia mengikutinya. Setengah jam akhirnya mereka sampai di tepi sungai besar berbatu-batu. Cahaya purnama malam keempatbelas yang bersinar sempurna, begitu indah menerangi sungai. Suara gemericik air terdengar sangat jelas di tengah kesunyian malam. Beberapa bunyi binatang malam menghiasi dan menambah syahdunya suasana kepekatan desa di tengah malam.
Airlangga mengedarkan pandangan. Tak ada toilet. Hanya sungai bergemuruh dengan bebatuan besar.
"Mana, Mi?"
"Ini, Pak. Inilah toilet alam."
"Maksudmu, saya suruh buang hajat di sini?"
"Ya, kalau tidak mau ya sudah. Terserah." Enteng Bumi menjawab. Airlangga menatap kesal. Dia tak menyangka jika toilet alami yang dimaksud adalah sungai. Tadinya ia berpikir semacam toilet dengan nuansa kayu atau bambu. Mau tidak mau ia terpaksa harus BAB--Bang Air Besar-- di alam terbuka, karena panggilan alam sudah memaksanya.
Sial! Sungguh sial. Rutuknya.
"Hati-hati, Pak Er, awas tergelincir."
"Bilang aja kamu mau ngintip saya!"
"Eits, jangan geer, Pak. Ngapain ngintip orang ... pup, tuh Neng Kun-kun sama Bu Aya kali yang mau ngintip!"
Bumi mencibir dan memeletkan lidah. Seandainya keadaan Airlangga tidak seperti itu ia tak akan pernah berani melakukannya karena ia yakin, bos arogannya tak akan membiarkannya begitu saja melecehkan harga dirinya tanpa hukuman yang setimpal.
Airlangga kini membuang hajat di pinggir sungai dibalik batu besar. Air sungai yang dingin, dan suara nyanyian alam begitu aneh di telinganya. Namun, entah kenapa ia merasa nyaman dan tenang. Apalagi saat membayangkan dirinya tengah buang hajat ditunggui seorang gadis yang disukainya.
Mimi, awas saja habis ini aku akan membalasmu, batinnya.
Terdengar Bumi memanggilnya, tetapi ia diam saja. Ada apa gadis itu memanggilnya apakah dia ketakutan? Hingga ke tiga kalinya barulah ia menjawab.
"Pak, Er ..."
"Ya?"
"Bapak, enggak ketiduran, 'kan?"
Dasar gadis itu! Awas saja nanti!
Airlangga merutuki nasibnya. Ia tak menyangka bisa terdampar di desa ini. Rasa khawatir ketika kehilangan Bumi membuatnya mengerahkan seluruh personil dalam sekejap informasi ia ketahui. Jika gadisnya itu kabur ke kosan dan pulang ke desanya.
Bumi tak pernah mengetahui kalau diam-diam ia memasang mata-mata dan pengawal tersembunyi untuknya.
Pada akhirnya, ini adalah hal tergila yang ia lakukan. Menyusul Bumi sendiri ke desanya. Padahal ia bisa saja menyuruh anak buahnya yang sudah ia sebar untuk mengawasi dan menjemput Bumi. Namun, ia memutuskan memasuki sarang kelinci manis ini dan berburu lebih banyak.
Kini di sinilah, ia. Jalan buruk tak bisa dilewati kendaraan, kelaparan dan makan pedas serta bau yang sungguh tidak disukainya. Karena menghargai keluarganya Bumi, terpaksa ia memakannya. Rasanya enak sih, tetap saja si perut sultan-nya pada akhirnya berunjuk rasa. Mereka seakan-akan bilang, demi rasa yang tak jelas, jangan korbankan kami! Itu tidak adil. Halah, Airlangga tertawa geli. Demi apa dia sampai menderita begini hanya demi gadis yang bahkan selalu melawannya.
Benarkan ia sangat menyukai dan mencintai gadis ini seperti kata Adam yang meledeknya. Entahlah, ia rasa hatinya sudah mati pada perempuan semenjak kecil dikhianati. Hanya yang ia rasakan kala Bumi tak ada gelisah dan cemas. Ia akan tenang bila gadis itu ada bersamanya. Dan setiap kerja selalu ingin cepat pulang untuk melihat gadis ini dan rasa lelahnya hilang seketika.
Melihat Bumi juga ia semakin giat bekerja. Gadis ini seakan menghipnotisnya supaya bisa bekerja keras dan menyelesaikan semua impiannya agar dia bisa cepat-cepat memberikan dan mewujudkan semua mimpi Bumi dan kebahagiaan gadis itu.
Sedemikian besarkah rasa yang menggerakkan seorang Airlangga si dingin dan bertangan besi?
Entah berapa banyak pencapaian target pekerjaan rahasia yang dia selesaikan hanya dengan mengingat Bumi sebagai mood bosternya. Sungguh luar biasa rasa ini.
Cintakah? Bulshit. Ia yakin ini hanya obsesinya karena gadis itu selalu membantahnya.
"Pak, Pak Er! Cepat!"
Saat ia baru membersihkan diri tiba-tiba suara keras dan panik Bumi mengagetkannya.
Apa yang terjadi? Apakah gadisnya sedang dalam bahaya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Rahasia Dosen Tajir
RomanceBumi, mahasiswa cantik dan cerdas tapi paling tidak peka dalam urusan cinta. Airlangga, dosen muda, tampan, tajir sekaligus Ketua LSM GARDA adalah bosnya Bumi. Arogan, dingin soal perempuan dan pekerjaan. Namun, menjadi tak tahu malu dan posesif be...