★Limabelas★

88 23 0
                                    

Jino mengetuk ruangan Davin berkali-kali. Dia teringat perkataan Jihan tentang trauma Davin. Dan dia khawatir Davin akan bersikap kasar lagi pada Jihan.

"Fuck. Ini bos kenapa ngunci kantornya?!" Jino kesal.

Jaka yang sedang memeriksa semua kamar melihat Jino yang tengah sibuk mondar-mandir didepan kantor Davin.

"Kak Jin kenapa?"

"Jihan di dalem. Terakhir kali dia didorong Pak Vin karena takut gelap. Gue takut aja Pak Vin marah lagi."

"Pintu dikunci?" Jaka jadi khawatir dengan Jihan. Dia ikut mencoba mendobrak pintunya tapi tidak bisa.

Mendengar orang berusaha membuka pintu Jihan semakin ingin membukanya. Tapi tangan dia dipegang erat oleh Davin.

"Jangan." Davin berkaca-kaca. Wajahnya malai berkeringat. Jihan mengusapnya perlahan.

"Iya gue ga pergi. Kak Davin jangan takut, udah nanti juga nyala lagi."

listrik padam sekitar 10 menit. Tapi terasa begitu lama bagi Davin. Dia mengatur nafasnya saat listrik kembali menyala. Jihan membantunya berdiri.

Davin melepas dasinya. Tangannya mengepal kesal.

"Panggil teknisinya kemari." Ucap Davin.

Jihan yang hendak mengusap keringat Davin jadi berhenti. Dia takut Davin marah. Tapi Davin seketika meraih tangan Jihan, membiarkannya untuk melakukan itu.

"Jihan takut kak Davin marah-marah lagi."

"Aku benci gelap, Jihan."

"Kalo gue suka gelap, soalnya mamih ga bakal bisa liat Jihan. Dia suka mukul Jihan pas kecil, terus Jihan sembunyi dikamar yang gelap haha mamih gatau. Jihan ga jadi dipukul."

Davin melihat bekas luka ditangan Jihan. Dia menyentuhnya perlahan.

"Aku pernah mendorongmu sampe luka begini?"

"Ah, ng...dikit hehe ga sakit kok."

"Apa aku keterlaluan? Jujur saja?"

"Kalo gue jujur nanti kak Davin sakit hati terus marahin gue lagi."

Davin menggeleng pelan.

"Oke. Jadi gini kak. Agak lebay kalo cuma salah kamar aja marah. Salah pasang seprei aja marah, padahal tegur aja gpp. Terus kakak itu jutek, dingin. Agak ramah dikit biar gantengnya nambah Kak. Terus apa lagi ya? mmm..."

Davin menarik tangan Jihan. Mereka saling berhadapan dengan jarak yang dekat. Bahkan Jihan bisa merasakan hembusan nafasnya.

"Kamu ingin aku ramah padamu?" Tanya Davin.

"i-iya..eh bukan gitu...." Jihan salah tingkah ditatap Davin begitu dekat.

"Aku marah karena kamu terlalu ceroboh. Kamu mau mengganggu pikiranku. Kamu selalu muncul dimana-mana."

Jihan tidak bisa membalas ucapan Davin. Wajah mereka terlalu dekat, untuk nafas saja Jihan jadi segan. Hanya anggukan kepala yang bisa Jihan lakukan.

"Bahkan kamu mengusik perasaanku dengan ciumanmu malam itu. Kamu pikir aku akan melupakannya?"

Jihan menggeleng.

"Mm aku tidak bisa melupakannya. Sekarang aku harus diam saja? Setelah kamu juga seenak masuk ruanganku tanpa ijin?"

Jihan kembali menggeleng.

"Jadi aku boleh marah padamu atas dua kesalahanmu itu?"

"Sorry soal ciuman itu, gue...gue...." Jihan tidak bisa menjelaskan kenapa dia mencium Davin?

"Aku akan membalasnya." Tatapan Davin begitu tajam. Dia menyentuh pipi Jihan dan dengan cepat sudah mencium bibirnya.

Jihan terbujur kaku. Tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Tapi dia bisa merasakannya, sentuhan bibir yang lembut dan hangat. Tangan Davin melingkar di pinggang Jihan. Sedikit menariknya agar ciumannya semakin intens. Jihan menutup matanya dan membiarkan Davin melakukan apapun padanya.

OH MY BOS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang