★Delapan★

82 21 1
                                    

Jihan kembali kerumahnya jam 2 siang. Suminten melirik kesal dan mengira anaknya dipecat.

"Baru berapa hari udah ga betah? Mau makan apa lu kalo ga dapet duit?"

"Apaan sih gatau apa-apa juga komentar mulu." Jihan bergumam lirih sambil masuk ke kamarnya. Dia tak menanggapi omongan maminya. Rasanya tidak betah dirumah, Suminten selalu bersikap sinis pada Jihan.

Untuk mengembalikan mood, Jihan ingin pergi kerimah Enji. Dia sahabat dekatnya semasa kuliah dan sama-sama menyukai Davin. Pertama kali Enji tahu soal pekerjaan baru Jihan, dia merasa iri dan ingi melamar di hotel Beyond juga. Tapi saat ini masih belum ada lowongan baru. Mungkin jika Jihan jadi dipecat, mereka akan membuka lowongan pekerjaan.

Jihan pergi ke rumah Enji yang ada disebuah perumahan dekat rumahnya. Enji tidak semiskin Jihan. Dia tinggal di perumahan cukup bagus dan bersih. Jihan menceritakan harinya pada Enji dengan ekspresif.

"Gue baru tau Davin segalak itu. Tapi asli karismanya aaaaaaakh ganteng banget. Lu tau dia natap gue kan pas marahin tuh. Disitu gue takut tapi juga salah tingkah."

"Anjir gue penasaran gimana Davin aslinya. Dia emang tinggi keren gitu ya?"

"Lebih mematikan aslinya. kaosan doang aja cakep."

Jihan sesekali melahap snack yang dia beli saat jalan ke rumah Enji. Mereka bercerita hingga malam hari. Setelah Jihan makan malam dirumah Enji dia pamit untuk pulang.

"Lu bawa mantel kan? Keknya mau ujan udah gludag gluduk."

"Bawa. Makasi ya makan malemnya. Makasi om tante. Jihan pamit dulu. Maaf ngerepotin." Jihan berharap bisa memiliku keluarga hangat seperti Enji.

"Engga Jihan. Sering main kesini gpp, kita seneng jadi rame." Ujar mamih Enji.

Tak lama Jihan pergi dari rumah Enji. Dia melihat langit mendung dan anginnya lebih dingin dari biasanya. Dia harus sedikit lebih kencang menarik gasnya. Tapi baru 100 meter dia jalan, rintik air mulai terasa pedih ditangannya. Dia pinggirkan motornya dan memeriksa bagasi motor.

"Kok gak ada?" Jihan tidak melihat mantelnya di bagasi. Terakhir kali dia ingat sudah dilipat. Mungkin dia lupa menaruhnya lagi. Hujan semakin deras. Jihan mau tidak mau harus menerabas hujan malam ini. Dia semakin kencang membawa motornya, dan ketika dia ingin menyebrang jalan. Tanpa melihat melihat situasi, karena dipikir jalan itu selalu sepi. Namun naas, sebuah mobil dari arah lain melaju dengan kecepatan sedang menabrak Jihan yang tiba-tiba muncul. Untunglah tidak begitu parah, Jihan hanya merasa sikunya pegal dan pedih. Air hujan membuat darahnya semakin terlihat heboh.

Jihan melihat ke arah mobil dan meminta maaf karena dia teledor tidak lihat kanan kiri. Pengemudi mobil itu keluar untuk memastikan kondisi Jihan.

Jihan hendak mengangkat motornya. Kaca sepion dia pecah, dan kaca lampu ritingnya pecah.

"Kamu gapapa?"

Suara itu sepertinya familiar. Jihan menoleh melihat pengemudi tadi yang berdiri di belakangnya dengan membawa payung.

"Kak Davin?!"

"Kamu lagi? Kutukan macam apa ini!"

Davin heran saja kenapa dia bertemu lagi dengan Jihan diluar kantor.

"Maaf Kak gue buru-buru jadi ga liat."

"Kalo diluar pekerjaan kamu bicara santai begini?"

"Yaudah kak gue balik dulu. Maaf." Jihan buru-buru mendorong motornya ke pinggir. Kakinya mulai terasa sakit juga, karena menghantam aspal terlalu keras. Jalannya jadi sedikit susah.

"Udah aku anter aja."

"Gausah kak. Deket dong rumahnya."

"Besok ke bengkel, biaya servisnya biar aku yang bayar."

"Beneran?"

"Mm."

"Makasi kalo gitu kak." Jihan tersenyum. Motornya sudah lama tidak servis juga jadi ini aji mumpung.

Davin kembali ke mobilnya, masih melihat Jihan yang berdiri ditengah hujan basah kuyub. Dia melajukan kembali mobilnya pulang ke rumah. Davin tinggal tidak jauh dari rumah Enji. Dia pulang untuk mengantarkan ayahnya.

"Siapa tadi Vin?" Tanya Bambang begitu mereka sampai di rumah.

"Orang lewat aja, nggapapa kok dia Yah."

Bambang hanya tersenyum lalu berjalan masuk ke kamarnya. Malam ini Davin tidur dirumah.

OH MY BOS!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang