Señorita Part II

489 35 1
                                    

   Hidup pada akhirnya membuktikan jika bahagia memang sebuah hal tabu untuk ku sentuh. Tuhan menghadirkan bahagia padaku hanya sebagai titipan yang pada akhirnya harus aku lepaskan. Tidak, aku tak mengutuk takdir hanya saja aku sudah berhenti percaya pada kata bahagia yang dikejar manusia.

  Kim Dante menciumku dengan penuh gairah. Menyesap, menggigit hingga melesatkan lidahnya mengobrak-abrik rongga mulutku. Tangan Dante berada di kedua rahangku sementara aku sibuk melepas kancing kemejanya terburu, menarik lepas hingga ia shirtless. Dante melepas cumbuannya sejenak, menarik dressku melewati kepala menyisakan tubuhku dengan pakaian dalam putih dengan sedikit renda halus.

Ia menekan tubuhku mendekat ke arahnya. Kedua tanganku mengalung di pundak Dante saat ia kembali mencium bibirku.
Entahlah, apa bibirnya selalu semanis ini aku tidak tau. Rasanya sedikit berbeda dari biasanya. Sangat manis hingga aku ingin terus menyesapnya.

Desahanku mengudara kala bibir Dante menelusuri leherku. Mengecup, menjilat, menghantarkan sengatan yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.

"Aghh, Dante!" Aku melenguh saat tangannya menyusup ke dalam celana dalamku. Jemarinya menyentuh milikku hingga aku membuka mata menatap wajah Dante. Ia memandangku dengan pandangan berkabut dan nafas sama terengahnya dengan diriku.

Aku merasakan tangannya menyentuh klitorisku, menggesek dengan ujung jemarinya.

"Shit! Kau sangat basah." ucapnya kemudian menarik turun celana dalamku hingga jatuh menyentuh lantai. Disusul kaitan braku yang ia lepaskan dengan mudahnya.

Dante mengangkatku menuju ranjang. Menjatuhkan tubuhku dengan posisi ia di atasku. Bibirnya kembali mencumbu lembut kemudian semakin turun ke area dada mengukir banyak tanda keunguan seolah tubuhku adalah kanvas. Jemarinya kembali bergerilya mengusap tubuhku kemudian memijat sensual kedua payudaraku, tak lupa memberi hisapan lembut pada pucuknya.
Aku mengerang dengan jemari mengusak dan menekan kepala Dante .

Tangannya menyusuri perutku terus menjalar hingga vagina. Ia menenggelamkan satu jarinya. Menggerak secara perlahan agar tak menyakitiku. Beberapa saat kemudian ia mencabut jarinya berganti dengan lidah yang sialnya terasa begitu memabukkan.

Tanganku mencengkram helain rambut Dante dengan mata terpejam dan mulut yang tidak berhenti mengerang. Lidahnya bergerak dengan liar dan acak. Tak lama aku mencapai orgasme pertamaku yang langsung dijilat bersih olehnya. Menyesap habis tak bersisa.

Dante menegakkan diri, melepas sisa pakaian yang masih melekat di tubuhnya kemudian meraih kondom dari atas nakas. Ia merobek bungkusan kondom tersebut lalu memakaikan pada kejantanannya.

"Maaf jika aku menyakitimu." ucapnya sambil mengecup keningku.

Dante bergerak memposisikan kejantanannya dihadapan vaginaku lalu perlahan-lahan mendorong masuk. Seluruh tubuhku terasa menegang hingga aku mencengkram kuat punggung telanjangnya dengan kuat. Beruntung kuku-kuku jariku tak panjang jadi tidak melukainya.

Dante terus bergerak hingga akhirnya menembus selaput daraku.
Finally, ia mengambil pertamaku meski dengan cara yang tidak aku rencanakan.Mau bagaimana lagi bukan? hidup tidak berjalan seperti apa yang aku harapkan.
Ia mengecup kelopak mataku, memeluk dan kembali berujar maaf. Ku fikir tidak akan pernah aku temukan pria semanis dirinya di belahan dunia manapun. Ia terlalu sempurna untuk seseorang seperti diriku.

Dante berhenti bergerak beberapa saat membiarkanku terbiasa dengan benda asing yang baru saja menembus bagian selatan tubuhku. Tangannya kemudian menggenggam kedua tanganku. Bergerak dengan tempo pelan yang kemudian menjelma semakin cepat hingga decakan pertemuan tubuh kami serta erangan-erangan erotis memenuhi kamar motel tersebut.

Beberapa saat kemudian aku mencapai pelepasanku disusul oleh Dante tak lama setelahnya usai menghentak cepat beberapa kali.

"Te amo, Señorita." ucapnya sambil mengecup kilas bibirku.

"Te amo mi amor." jawabku.

Aku benar-benar berharap hari esok tidak akan datang. Aku tak siap meninggalkannya. Tetapi tidak peduli bagaimana aku berharap tidak akan ada yang berubah. Kami kemudian terlelap dalam keadaan berpelukan hingga pagi menjelang.
Keesokan harinya aku dan Dante benar-benar berpisah. Orang tuaku kemudian membawaku menuju Madrid.

*****

𝐊𝐢𝐦 𝐃𝐚𝐧𝐭𝐞 𝐏𝐎𝐕

Dua minggu berlalu sejak Lara meninggalkanku. Bohong jika ku katakan segalanya baik-baik saja. Hariku memang berjalan seperti biasa tanpa hambatan tapi tidak begitu dengan apa yang ku rasakan. Jauh di dalam diriku rasanya berantakan, rasanya hampa dan fikiranku dipenuhi olehnya. Aku merindukannya tapi tidak dapat menghubungi ataupun melihatnya.
Apa dia baik-baik saja? Apakah orang itu memperlakukannya dengan baik?
Semua pertanyaan itu masih setia mengusikku.

𝑫𝒓𝒕𝒕...𝑫𝒓𝒓𝒕𝒕..

Ponselku bergetar menampilkan kontak yang tak dikenal. Aku bangun dari tempat tidur, meraih ponselku dari atas nakas.
Kemudian menjawab panggilan tersebut sembari berjalan menuju balkon.

"Diga!?" ( Halo ; dalam bahasa spanyol )

Terdengar suara seorang pria tua dari seberang telphone. Sekretaris ayah yang sudah aku anggap seperti pamanku sendiri.

"...."

"Ya, baiklah. Katakan padanya aku akan segera ke sana." jawabku singkat lalu memutus panggilan.

Paman Jack bilang aku harus pulang. Aku yakin ayahku akan membahas soal meneruskan perusahaannya lagi. Aku benar-benar tidak ingin terlibat dengan bisnisnya yang banyak terkait dengan hal-hal yang aku benci. Aku hanya Ingin hidup sebagai orang biasa bukannya berkutat dengan saham atau jaringan mafianya.

Sekitar 20 menit perjalanan dengan mobil aku sampai di Bellamar, kawasan elite Barcelona. Aku disambut beberapa penjaga begitu memasuki gerbang depan.

"Selamat datang Tuan Muda." sapa para pelayan begitu aku memasuki rumah. Di ruang tengah paman Jack sudah menunggu dan mengantarku menuju ruang makan.

Tampak ayahku sudah menunggu kedatanganku. Seperti biasa ia masih saja angkuh dan mengintimidasi.

"Aku sibuk jadi bisakah ayah langsung mengatakan tujuan memanggilku kemari?"

Hubungan kami tidak begitu baik jadi tidak ada basa-basi saperti saling menyapa diantara kami. Tak lama para pelayan muncul menghidangkan makan malam tepat saat aku duduk berseberangan dengan ayahku di sudut lainnya.

"Pindah ke rumah dan bergabunglah dengan perusahaanku."

"Ayah, sudah berapa kali ku katakan aku tidak tertarik berkecimpung dengan dunia yang sama denganmu."

"Lalu apa? Kau ingin tetap hidup diluar sana menjadi arsitek biasa yang bayarannya bahkan tidak lebih besar dari pelayan di rumah ini?!" sanggah ayah yang mulai meninggikan suaranya.

"Ayah, Aku,.." Ayah memotong ucapanku sebelum aku menyelesaikannya.

"Cukup. Kita lanjutkan pembicaraan ini besok saja. Bukan itu tujuanku memintamu kembali."

Aku mengerutkan kening bingung.Lalu apa lagi yang ingin ia bicarakan selain perihal pekerjaan.

"Ven aquí amor." ( Kemarilah, sayang )

Seorang wanita muda berjalan ke arah meja makan menghampiri Ayah. Tubuh tinggi semampai dengan rambut panjang dibiarkan terurai. Meski ia memakai riasan yang sedikit tebal yang membuat tampilannya semakin tajam aku masih dapat mengenali siapa yang tengah berdiri mematung menatap dengan tatapan yang sama terkejutnya dengan diriku saat ini.

Señorita cantik yang selalu aku puja.Chou Lara, kekasihku.

"Dia calon ibu tirimu." ucap ayah yang membuat darahku berdesir. Sesuatu terasa menghantam dinding jantungku dengan sangat tajam.

Sandiwara macam apa yang tengah Tuhan mainkan dalam hidupku. Seseorang yang sangat ku cintai tengah berdiri di hadapanku namun tak dapat ku jangkau. Bagaimana mungkin ini terjadi? Pria yang menghancurkan kebahagian Señoritaku adalah ayahku sendiri.

_Fin

AdoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang