"Kenyataannya, menghapus jejak-jejakmu di kanvas kehidupanku terkadang tak semudah angan. Sesekali hati dan pikiran terkadang berkhianat"
******
Satu-satunya waktu luang yang dimiliki Nara hanya ada di akhir pekan. Di hari kerja, dia sudah mempunyai sederetan pekerjaan dan tanggung jawab yang tentu menyita banyak waktu. Bagi Nara, lebih baik dirinya sibuk bekerja dan memberikan manfaat untuk orang lain daripada berdiam diri yang cenderung mengingatkannya akan luka.Hari minggu pagi seperti biasa Nara menyempatkan untuk olahraga, jika tak keluar untuk olah raga dia minimal menggunakan sepedah statis di rumah seperti yang dilakukannya hari ini. Nara mengelap keringatnya dan berjalan ke dapur. Saat memasuki dapur dia melihat Bu Sri sedang membersihkan kulkas. Melihat Nara datang, Bu Sri menunjuk meja makan di ruangan sebelah dapur.
"Mbak Nara, Bu Sri bikinin jus jambu di meja makan."
"Wah, makasih Bu Sri."
"Sama-sama, mau dibuatin apa sarapannya?"
"Aku sarapan roti saja deh Bu, oh ya nanti aku mau buat makaroni schotel. Dari kemarin nggak sempat-sempat." Nara berbalik menuju meja makan yang berada di dekat dapur.
"Yuk, nanti Bu Sri bantuin Mbak Nara deh."
Nara hanya menanggapi dengan mengangkat jempolnya dan menuju meja makan.
****
Sebenarnya Nara bukanlah orang yang ahli urusan dapur. Dulunya dia malah buta sama sekali soal masak-memasak. Tak hanya itu, urusan domestik pun dia tak pernah berurusan. Buat apa juga karena itu bukan tugasnya, sudah ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan untuk mengurusnya. Tugasnya sebagai anak hanya perlu belajar yang rajin. Nara memang lahir di keluarga yang cukup berada, yang tentu saja mampu menggaji para asisten rumah tangga untuk membereskan semuanya. Mungkin hal itu juga yang dialami anak orang kaya pada umumnya yang tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, lantaran memang sudah ada yang dibayar untuk membereskannya.
Nara yang saat itu menikah dengan Gavyn, bertekad untuk belajar memasak. Dia sampai mengambil kursus memasak. Mempunyai saingan seorang chef yang handal membuatnya tampak semakin mengecil dan tak bisa apa-apa. Hal inilah yang mendorongnya untuk mengambil kursus memasak. Nara menempatkan makaroni schotelnya ke wadah-wadah cup aluminium kecil. Dia akan membagikan ke rekan kerjanya di poli anak, sedangkan cup aluminium besar akan diberikan ke Diaz dan disimpannya sendiri.
Kebetulan Senin Diaz juga dinas di Rumah sakit yang sama. Selama ini Diaz selalu menyempatkan membeli oleh-oleh untuknya jika pulang dari luar kota. Nara belum pernah memberikan apa pun. Semoga langkahnya untuk menerima Diaz adalah awal dari hari baru, dan dia ingin memberikan makanan buatannya.
Awalnya Nara sempat ragu, apakah jika dirinya memberikan makanan favorit Gavyn ke Diaz tandanya dia ingin memperlakukan Diaz seperti Gavyn. Sampai-sampai dia curhat kepaca Echy akan hal ini yang dijawab tak masalah, bukan berarti Nara harus membenci makaroni schotel dan tak boleh memberikannya ke Diaz. Selama dia sudah menyelesaikan hatinya dengan semua masa lalunya, tentu hal-hal lain yang berkaitan tak harus dibuang juga.
Nara menuangkan adonan jadi ke cup-cup aluminium, kemudian Bu Sri membantu menaburkan topping keju parut, potongan mozzarella, sosis dan parsley ke atas cup tersebut sebelum memasukkannya ke dalam oven.
"Sudah masuk semua ke oven Bu?"
"Sudah Mbak."
"Makasih ya Bu Sri sudah dibantu."
"Sama-sama, Mbak Nara hari ini nggak ada agenda keluar?"
"Nggak kemana-mana Bu, hari ini di rumah saja. Bu Sri jadi jalan jam berapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Luka (END-Unpublish)
Literatura Feminina(HANYA TERSISA 9 BAB YA) Sejak dahulu, Nara telah menyematkan hatinya hanya kepada satu nama. Seorang lelaki yang telah menjaganya sejak dahulu, seseorang yang berperan menjadi kakak sekaligus orang yang dicintanya. Dia lelaki yang namanya selalu t...