a piece of memory - niena

460 67 8
                                    

•fmn•

"Jangan lupain aku."

"Hah?"

"Nama bunganya, Forget Me Not, artinya jangan lupain aku."

Aku membuka mataku setelah suara-suara barusan terdengar di tengah terapiku hari ini.

Di hadapanku, Dokter Windy, Bunda dan Ayah —yang akhirnya dapat jadwal cuti beberapa hari yang lalu— menatapku dengan sirat wajah khawatir yang tergambar jelas pada wajah mereka. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali, agak canggung ditatap seperti itu oleh mereka, padahal, seumur hidupku, tatapan itu sudah menemani hari-hariku.

Meskipun alasannya aku tidak tahu.

Atau mungkin aku tahu pada suatu waktu, namun di waktu-waktu lainnya alasannya hilang.

"Apa yang kamu lihat dan dengar, Na?" Dokter Windy akhirnya bersuara.

"Ada tiga anak kecil, dua laki-laki satu perempuan, mereka lagi ngelilingin kertas yang ada gambar bunga dengan kelopak warna biru dan putik warna kuning, bunga Forget Me Not." Jawabku sembari mengingat apa yang barusan menghampiri ingatanku.

Ketiganya menghela nafas lega.

"Cuma itu?"

Aku menganggukan kepalaku. Setengah berbohong.

Berikutnya, Dokter Windy, Ayah dan Bunda tinggal di dalam ruangan lebih lama, sementara aku telah menginjakkan kakiku di taman Rumah Sakit, sebagaimana yang selalu aku lakukan tiap kali melakukan check up rutin disini.

Taman Rumah Sakit ini adalah tempat yang tak akan pernah bosan aku kunjungi, tempat ini memberikan kesan tersendiri yang aku sendiri tidak paham kenapa bisa seperti itu. Mungkin karena aku pernah menghabiskan masa-masa kecilku disini, seperti yang pernah Ayah dan Bunda ceritakan meskipun aku sendiri tidak bisa mengingat masa-masa itu dengan jelas.

Ah iya.

Ingatan, ya.

Atau mungkin, belum bisa kusebut sebagai ingatan. Jadi mari kita sebut sebagai memori-tak-bertuan, karena bisa saja itu muncul dari mimpi pada malam-malamku yang terlupakan lalu muncul lagi secara tiba-tiba.

Beberapa hari yang lalu aku mendapatkan kepingan memori-tak-bertuan baru, atau bisa jadi itu adalah sebuah fakta yang selama ini tenggelam dalam diam di sudut terdalam ruang memoriku, bahwa anak kecil yang selalu mengisi malam-malam penuh mimpi burukku adalah diriku sendiri. Begitu aku menyimpulkannya. Sebab semuanya terasa begitu nyata hingga aku tak bisa melupakannya selayaknya mimpi pada umumnya.

Lalu setelah hari itu, memori-tak-bertuan lainnya datang dengan rutin.

Dua malam yang lalu, saat Ayah pulang dan memelukku yang masih setengah tertidur, memori-tak-bertuan itu datang dengan cepat. Ayah ada disana, ekspresinya benar-benar khawatir luar biasa dengan air mata yang membanjiri wajahnya, ia berteriak memanggil namaku yang entah berada dimana. Secepat itu, lalu aku kembali ditarik ke realita, ekspresi khawatir itu menyambut penglihatanku, namun tidak separah yang terlintas pada memori-tak-bertuan.

Lalu. Hari ini saat aku terkantuk-kantuk dalam perjalanan ke rumah sakit, memori-tak-bertuan lainnya datang. Dalam keadaan setengah tertidur, aku mendapati Niena kecil yang nampak mengenaskan dalam pelukan Bunda yang duduk di sampingku sementara Ayah tengah melajukan mobil  begitu cepat, lengkap dengan suara klakson yang berbunyi tiap ada mobil lain yang menghalangi jalannya. Hanya beberapa detik kilasan itu muncul sebelum akhirnya, panggilan dari Bunda kembali membawaku pada waktu yang kini tengah aku jalani.

Aku menghela nafas. Amnesia Disosiatif dan PTSD yang kumiliki benar-benar kombinasi sempurna untuk membuatku mati secara perlahan.

Bagaimana bisa aku terjebak dalam kondisi ini? Mengingat semua memori yang hilang karena Amnesia Disosiatif ini akan memicu PTSDku kambuh, namun hidup dengan separuh memori juga bukan pilihan yang baik sebab hari-hariku diisi oleh rasa cemas yang datang dari alam bawah sadarku.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang