Setelah kelas selesai, Mark langsung pulang ke rumah. Tentu dia berpamitan terlebih dahulu kepada Lucas. Jika tidak bisa-bisa Lucas nekat melaporkan orang hilang ke polisi karena itu pernah hampir terjadi.
Rumah terasa sepi dan sepertinya memang sepi karena baru saja menginjak jam 3 sore. Chenle dan Jisung tentu belum pulang. Meski berbeda sekolah namun jadwal sekolah mereka berdua sama-sama padat. Renjun pasti masih melayani para pelanggan di kafe. Jeno entah kemana, Mark menyadari anak satu itu jarang sekali berada di rumah semenjak perceraian orang tua mereka. Haechan juga sepertinya sedang berkuliah. Seharusnya tersisa Jaemin di rumah sendiri namun saat Mark memeriksa kamarnya, Jaemin tidak ada.
Mark kini berusaha menelepon adiknya, namun hanya suara dari operator yang terdengar. Mark mulai panik. Dia mengirim pesan kepada adiknya yang lain satu persatu, menanyakan di mana keberadaan Jaemin. Namun tak ada satu pun yang tau di mana keberadaan Jaemin. Mark segera mengambil kunci mobilnya, menancap gas dan mencari Jaemin di tempat mana pun yang bisa dia temukan.
———————————————————–
Jaemin menghela napas panjang setelah berhasil pergi dari rumah. Dia berada di salah satu mal di dekat rumahnya sekarang. Jaemin memang sudah lama sekali tidak pergi ke mal. Terutama karena orang tuanya dulu selalu melarangnya, takut Jaemin merasa terlalu lelah kata mereka.
Jaemin melangkah menuju salah satu kafe di dalam mal dan pergi ke sana untuk memesan ice americano kesukaannya yang sudah berbulan-bulan tidak dia sentuh. Jaemin sengaja memilih tempat di outdoor karena Jaemin hanya ingin merasakan angin yang menerpa tubuhnya. Sayangnya, asap rokok mengganggu Jaemin dan pernapasannya mulai tersendat.
"Ya Tuhan.. Sakit.." Jaemin memegangi dadanya. Terasa berat saat bernafas membuat Jaemin panik. Kemudian dia segera menelepon Mark dan memberi tau lokasinya.
Mark segera menancap gas setelah tau di mana lokasi Jaemin. Dia merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga adiknya dengan baik.
———————————————————–
Jeno berjalan masuk ke dalam rumah. Dia mengira tidak ada orang setelah mendapatkan pesan dari Mark bahwa Jaemin menghilang. Namun perkiraannya salah besar. Dia melihat Chenle tengah menonton televisi di ruang tamu. Jeno mendesah kesal, mengapa harus Chenle dari sekian banyak saudaranya yang lain? Semenjak pertengkarannya dengan Chenle satu minggu lalu, Jeno merasa malas jika harus berhadapan dengan adiknya yang satu itu.
"Oh, masih inget pulang?" Sarkas Chenle dari kursi.
Jeno merotasikan bola matanya. "Bukan urusan lo," ketusnya.
"Ya jelas jadi urusan gue. Kontribusi lo selama dua minggu ini gak ada padahal seharusnya kita itu bersama. Semenjak Papa sama Mama cerai lo jadi semaunya sendiri, Kak."
"Lo gak tau apa-apa tentang gue. Gak usah banyak ngomong," kesal Jeno. Jujur, ucapan Chenle ada benarnya juga menurut dia. Namun Chenle pun tidak tau bagaimana perasaan Jeno yang sebenarnya. Menjadi Jeno juga tidak semudah yang dibayangkan. Jeno memiliki mindset di mana lelaki tidak seharusnya menangis yang membuatnya menahan perasaannya selama ini. Dan Jeno hanya butuh tempat untuk meluapkannya.
"Terserah lo, Kak. Tapi jangan harap gue bakal ada buat lo kalau lo butuh gue," final Chenle. Jeno berjalan meninggalkan Chenle dengan perasaan kesal. Ingin sekali dia membanting pintu kamarnya, namun dia yakin itu akan membuat keributan lain dengan Chenle. Pada akhirnya, Jeno memilih untuk menahan amarahnya dan segera pergi menuju ke rumah Hyunjin.
———————————————————–
Renjun kini berada di toko buku dekat kampusnya. Setelah kelas tadi, Renjun memang segera pergi ke toko buku. Dia membeli cutter kecil karena hasratnya untuk melukai dirinya sendiri sudah sangat tinggi. Tidak terhitung berapa banyak cutter yang dimiliki oleh Renjun demi melukai dirinya sendiri. Panggil saja Renjun gila, dia tidak begitu peduli. Karena menurutnya, dia memang sudah gila.
Dia berjalan menuju sekolah Jisung karena memang kampusnya terbilang cukup dekat dengan sekolah Jisung. Hanya memakan waktu lima menit jika berjalan kaki. Namun di tengah perjalanan, Renjun melihat beberapa siswa sedang mengeroyoki seorang siswa. Dan siswa yang sedang dipukuli adalah adiknya sendiri, Jisung Damarion.
"Berhenti!" Teriaknya sambil berlari. "Gue bilang stop!" Teriaknya lagi setelah sampai di tempat kejadian.
"Lo siapa?" Tanya salah satu dari para siswa tersebut.
"GUE KAKAKNYA! LO GILA HAH?! LO NGAPAIN MUKULIN ADIK GUE?!" Renjun yang sudah sangat marah berteriak seperti orang kesetanan.
"Adik lo duluan yang mulai, kita cuma ngasih pelajaran sebagai teman. Ya kan, Ji?" Jisung tidak menjawab. Kepalanya sudah pening sekali. Bahkan untuk menangkap suara saja rasanya dia tidak kuasa.
"Bajingan. Pergi lo semua," ucap Renjun penuh emosi. Para siswa tersebut cukup sadar bahwa mereka sudah keterlaluan, namun mereka tidak peduli. Mereka kemudian meninggalkan kakak beradik itu berdua.
Tanpa sadar, Renjun meneteskan air matanya. "Ji, bisa denger aku nggak?" Tanyanya pelan.
Jisung hanya mengangguk sebagai respon. Bibirnya sakit sekali jika digerakkan bahkan satu centi pun rasanya menyakitkan. Jisung kemudian berusaha bangkit dan dibantu oleh Renjun.
"Mau pulang ke rumah? Atau kita pergi ke kafe aku dulu? Aku takut kamu dimarahin sama Kak Mark."
Dengan pelan, Jisung berusaha menjawab. "Ke kafe aja, Kak."
Renjun mengangguk mengerti. Kemudian dia memberhentikan taksi dan segera melaju menuju kafe tempat kerjanya.
———————————————————–
KAMU SEDANG MEMBACA
Are we a family?
Fanfiction❝Semua yang memiliki masalah masing-masing dengan pelariannya❞ - gi.