delapan belas ; keluarga (end)

2.5K 118 0
                                    

Hari ini adalah hari kelulusan Chenle. Di mana menjadi hari tersibuk bagi seluruh saudara-saudaranya.

"Jeno, cepetan mandinya udah kayak cewek aja!" Kesal Haechan dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintu kamar mandi.

"Sabar dulu! Gue baru juga sabunan!" Balas Jeno dari dalam.

Beruntung yang lain sudah mandi dan rapih, tidak harus mengantri kamar mandi lagi.

"Cepetan dong, ini wisudanya mulai dua puluh menit lagi," keluh Chenle dengan wajah paniknya.

"Chan, udah gak usah mandi," usul Jaemin yang mendapat jitakan dari Haechan.

"Duh, kok dijitak?" Jaemin mengusap-usap dahinya.

"Makanya punya otak dipake, gila kali ke wisuda gak mandi." Haechan mengomel pelan. Yang diomeli hanya memanyunkan bibirnya.

Setelah acara rebutan kamar mandi, akhirnya ketujuh orang ini siap pergi. Mark yang menyetir mobil mereka. Awalnya Jeno yang ingin menyetir, namun mereka semua tidak percaya sehingga Mark yang ditunjuk untuk menyetir.

"Kak, ngebut dong, bentar lagi mulai nih." Chenle sudah mulai panik. Tangannya mengetuk-ngetuk pahanya sendiri.

"Iya, ini aku ngebut." Mark menambah kecepatan mobilnya. Sehingga dalam kurun waktu sepuluh menit mereka sampai di sekolah Chenle dan Jisung.

"Yang masuk kak Mark aja ya, yang lain tunggu di luar." Chenle kemudian menarik lengan Mark ke dalam tanpa mendengar keluh kesah dari yang lain, terutama Haechan.

"Tau gitu tadi gak usah mandi," keluhnya sebal.

"Tuhkan, udah aku bilang juga apa," timpal Jaemin. Haechan hanya mendengus sebal mendengarnya.

"Ji, kantin yuk," ajak Jeno.

"Heh, mau ngapain ke kantin?" Tanya Haechan penuh curiga.

"Nyari cewek." Jawaban Jeno sukses membuat seluruh saudaranya kecuali Chenle dan Mark tentu melebarkan matanya.

Jeno mendengus. "Ya kagak lah, jajan. Gila lo semua."

"Lagian ditanya serius malah bercanda jawabnya," keluh Haechan. Lagi.

"Chan, udahan napa ngeluhnya. Dari tadi gak ada bersyukurnya," protes Renjun sebal. Dia sedang kepanasan, dan di sebelahnya ada Haechan yang tidak berhenti mengoceh.

"Yeu, lo juga. Tuh keringet tandanya lo gak bersyukur Tuhan ngasih sinar matahari," dengus Haechan.

"Gak jelas, cocoklogi dari mana dih."

Jaemin kini yang kesal. "Berisik tau gak. Udah diem aja berantem mulu."

Pada akhirnya mereka berdua terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun untuk membantah Jaemin.

———————————————————–

"Yeay! Kak Chenle lulus!" Teriak Jisung di mobil.

"Seneng banget kamu, Ji. Gak mau satu sekolahan sama aku lagi, ya?" Chenle mengangkat sebelah alisnya.

"E-eh gak gitu kak. Maksudnya gak gitu." Jisung terbata saat menjawab pertanyaan Chenle.

Chenle hanya tertawa. Adiknya memang polos sekali.

"Ehem, berhubung Chenle lulus, boleh kali traktirannya." Haechan menatap Chenle yang sudah mendecih.

"Mi ayam mang Ujang boleh tuh," usul Jaemin.

"Elah deh gak elit banget! Apa kek gitu pizza atau burger atau steak, ini minta mi ayam!" Haechan benar-benar tak habis pikir dengan Jaemin.

"Gue setuju sama kak Jaemin," ujar Chenle.

"Gak, gue gak!" Tolak Haechan keras-keras.

"Dih, gue yang bayar kok lo yang nolak."

Chenle vs Haechan. 1-0.

———————————————————–

Akhirnya, mereka bertujuh makan mi ayam milik Mang Ujang. Kesukaan mereka. Semua makan dengan lahap kecuali Haechan. Dirinya masih menginginkan fastfood bukannya mi ayam. Namun, mulutnya tetap mengunyah mi ayam.

"Yeu, tetep dimakan kan tuh mi ayam," cibir Chenle ke Haechan. Haechan hanya menatap tajam Chenle.

"Habis ini ke taman biasa yuk, kangen." Semuanya menatap Mark, terutama Haechan yang dramatisnya menatap Mark dengan mi ayam di mulutnya.

"Apasih, abisin dulu makanan lo." Jeno mendorong kepala Haechan. Haechan mendecak kesal.

"Boleh kak, aku juga pengen hirup udara seger." Renjun menyetujui.

Setelah makan mi ayam dan bertengkar kecil karena Haechan dan Jeno yang saling tak mau mengalah, akhirnya mereka sampai di taman di mana tempat mereka bermain semasa kecil.

"Tamannya gak berubah ya." Iris mata Renjun menatap satu persatu hal yang ada di taman ini.

"Gue jadi kangen mama sama papa bawa kita ke sini." Jeno bersuara.

"Aku juga, tapi aku sadar kalau bahagia itu gak perlu mereka, cukup ada kalian aja." Mark tersenyum memandang adik-adiknya. Yang dibalas lagi senyuman oleh adik-adiknya.

Yah, prinsipnya berubah setelah perceraian kedua orang tuanya. Tak perlu orang tuanya, bersama dengan adik-adiknya Mark dapat merasa kuat. Merasa penuh. Merasa bahagia. Karena, kebahagiaan itu muncul dari rasa kenyamanan. Dan Mark nyaman dengan mereka.

Tanpa perlu orang tua, mereka sudah dapat disebut sebagai keluarga utuh. Keluarga yang saling melengkapi. Keluarga yang saling menyayangi. Tentu dengan canda dan tawa yang mengiringi mereka.

Hidup tak sepenuhnya berada di bawah, ketujuh anak ini sudah menemukan titik kebahagiaannya. Tuhan pun adil memberikan mereka kebahagiaan. Karena tak selamanya seseorang berada di bawah, sesekali mereka juga harus naik ke atas demi merasakan angin kebahagiaan.

Di sini lah Damarion bersaudara, mengakhiri penderitaan mereka dan menggantinya dengan canda tawa. Dan Tuhan memberikan mereka kebahagiaan. Selalu.

End

———————————————————–

Haaaiiii~~ Ga kerasa ya udah ending aja. Maaf kalau misalkan ceritanya kurang, aku nulis ini pure karena aku iseng aja.

Makasih yang udah nyempetin baca, aku sayang kaliaann!

Are we a family?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang