tiga belas ; cerita

1.6K 149 8
                                    

Jeno melangkah gontai ketika dia sampai di rumahnya. Masalahnya, sudah dua minggu dia tidak bertemu orang-orang ini. Terakhir ya, hanya Chenle. Itu pun dia beradu mulut dengan Chenle. Sekarang, dia harus bertemu seluruh saudara-saudaranya. Jeno merasa tidak siap. Namun, seperti kata Hyunjin, dia harus menghadapi realita.

Jeno membuka pintu rumahnya dengan perlahan, lalu terdengar suara saudara-saudaranya sedang menonton film bersama. Dia kemudian masuk dan menatap keenam saudaranya.

Mark yang tersadar akan kehadiran Jeno menoleh, lalu tersenyum. "Sini, Jen. Nonton bareng. Udah lama, kan?"

Jeno yang tertegun tidak merespon apa-apa. Mark mengerutkan dahinya lalu menarik Jeno. Seketika badan Jeno tersentak kaget.

"Eh kenapa? Kaget?" Tanya Mark lagi. Jeno hanya mengangguk. Jujur, perhatian kecil seperti ini membuat Jeno ingin menangis. Dua minggu dia berpisah dari keluarganya, dan kini dia merindukannya.

"Kak.." Jeno menangis pelan.

Mark terkejut dan langsung memeluk adiknya itu. "Jen, kamu kenapa?"

Jeno menggeleng lalu membalas pelukan Mark. Sungguh dia benar-benar butuh pelukan. Meskipun Jeno terlihat galak dan tidak peduli, nyatanya anak ini sangat manis di dalam hatinya.

"Kak Jeno kenapa? Kok nangis?" Tanya Jisung yang melihat mereka berdua. Sontak, semua orang menolehkan kepalanya ke arah mereka.

"Hm? Enggak Ji, aku gapapa." Jeno menggeleng lalu melepaskan pelukannya dari tubuh Mark.

"Udah inget pulang lo, kak?" Tanya Chenle menatap tajam Jeno.

"Sstt, Chenle. Gak boleh gitu," tegur Mark.

"Emang bener kata Chenle, kak. Seharusnya aku sadar diri."

Mark menggeleng. "Enggak, Jen. Aku tau kamu itu butuh pelarian. Dan aku rasa kamu sekarang udah lelah sama pelarian kamu."

Jeno tak sanggup berkata-kata. Hanya air mata dan anggukan yang bisa dia berikan sebagai jawaban. Kenyataan ini terlalu sakit, dan dia menghindar.

Kemudian Jeno dan Mark duduk di lantai dengan posisi melingkar. Renjun dengan sigap mematikan televisinya karena dia tau akan ada percakapan serius di antara mereka saat ini.

"Udah lama ya, gak kumpul gini." Haechan membuka percakapan sembari menoleh ke arah mereka satu persatu.

"Mumpung udah malem, deep talk yuk," ajak Mark kepada adik-adiknya. Beruntungnya mereka semua menyetujuinya.

"Karena Jisung paling mencurigakan, mulainya dari kamu Ji," perintah Chenle sembari memeluk adik kecilnya yang sudah besar.

"Emm, kakak semua janji ya jangan marah?" Ujar Jisung. Yang lain hanya mengangguk, terkecuali Renjun yang sudah mengetahui semuanya.

"Aku— aku dibully kak, sama temen-temenku."

Mereka semua –kecuali Renjun tentunya– terkesiap. Tak menyangka adiknya yang manis ini menjadi korban perundungan.

"Siapa?" Tanya Chenle.

"Kak, kan kakak udah—"

"SIAPA JISUNG?!" Teriak Chenle marah. Sumpah, Chenle sangat menyayangi Jisung. Sangat. Dia benar-benar tidak terima adiknya babak belur karena perundungan dari teman-temannya. Jisung bilang lukanya dia dapat karena terjatuh dari tangga, meskipun janggal mereka mempercayainya. Namun ternyata semua itu bohong.

"Chenle, tenang," perintah Mark.

Mereka semua menatap Jisung dengan perasaan bersalah dan menyesal. Adik kecilnya babak belur karena orang lain. Mereka tentu merasa marah, sangat marah.

"Jisung, denger. Aku bakal ngomongin ini ke sekolah kamu. Kamu harus kasih tau siapa yang ngebully kamu, oke?" Ujar Mark. Jisung hanya bisa mengangguk pelan. Kemudian Mark merangkak menuju Jisung dan memeluknya. Chenle pun memeluk mereka dari luar, di susul oleh Haechan, Jaemin, Renjun, dan Jeno.

Setelah sesi pelukan usai, kini giliran Chenle yang mengungkapkan perasaannya.

"Jujur, gue benci banget sama lo Kak Jen. Perubahan lo itu bikin gue muak. Gue kangen lo yang malem-malem suka nyuri jajanan gue, tapi sekarang lo peduli aja enggak. Gue telepon gak pernah diangkat. Kita udah kayak bukan saudara lagi. Tapi gue sekarang sadar, lo tetep aja manusia. Lo cuma kehilangan lo kemaren, dan sekarang lo balik. Maafin gue ya, kak. Gue udah jahat ke lo." Chenle menatap dalam mata Jeno dengan perasaan bersalah.

Jeno kemudian tersenyum dan menggeleng. "Lo bener kok, Le. Maafin gue juga ya?"

Chenle mengangguk dan tersenyum. Ah, dia rindu perasaan ini. Perasaan yang utuh sebagai keluarga setelah dua minggu terjadi perang dingin antara dia dan Jeno. Chenle sangat menyayangi Jeno, sangat. Namun dua minggu terakhir menguras emosi Chenle terhadap Jeno. Tak apa, sekarang Jeno sudah kembali.

Berikutnya, Jaemin. Dengan helaan napas panjang, dia memulai ceritanya. "Aku mau bebas. Aku mau kayak kalian, bebas. Semenjak aku sakit, papa sama mama selalu ngurung aku. Aku cuma boleh pergi kalau sama Kak Mark atau kalian. Aku gak boleh pergi sendiri. Aku gak mau jadi tahanan rumah. Aku capek," isak Jaemin. Renjun yang berada di sebelahnya berusaha menenangkan Jaemin dengan cara memeluknya. Mengelus surai lembut milik Jaemin.

"Aku operasi sebulan lagi, aku harap operasinya bisa berhasil," lanjut Jaemin. Renjun masih terus memeluk Jaemin dan mengelus pundaknya pelan.

Haechan terdiam. Sebelum berbicara, dia menatap seluruh saudaranya satu persatu. "Aku dua minggu ini ya cuma nugas aja sih. Gak ada hal khusus. Palingan pergi sama Shotaro, udah."

Haechan mengakhiri ceritanya, yang dilanjutkan oleh Jeno. "Gue— dua minggu ini banyak hal yang dilakuin. Gue ngerokok, ngebolos, balapan. Yah, bisa dibilang hidup gue udah hancur banget," ucap Jeno dengan kekehan. "Tapi, gue capek hidup kayak gitu. Lari terus, gak pernah istirahat. Gue sengaja mau kabur dari rumah biar gak ketemu kalian semua, nyatanya gue gak bisa. Ujung-ujungnya, kalian bakal muncul di kepala gue."

"Aku bangga sama kamu, Jen. Mungkin pelarian kamu itu bukan hal yang positif, tapi kamu bisa keluar dari situasi itu dan menerima keadaan. Berdamai sama kita semua. Menurut aku, itu hal yang patut buat diapresiasi."

Ucapan Mark menyentuh hati Jeno. Rasanya dia sangat jahat sekarang mengingat keluarganya ternyata sangat sayang padanya.

"Renjun? Giliran kamu," ujar Mark.

"Ada hal yang aku sembunyiin. Dan aku bener-bener gak mau kalian tau. Aku yakin kalian bakal kecewa sama aku kalau kalian tau aku ngelakuin ini."

Pengakuan Renjun membuat orang-orang yang berada di situ mengerutkan alisnya.

"Emang kamu ngapain, Jun?" Tanya Jaemin.

"Aku belum siap ngasih tau kalian, aku tau ini bakal ngecewain kalian, maaf ya."

Yang lain hanya bisa mengangguk mengerti. Kini giliran Mark, sang kakak pertama.

Mark tersenyum sebelum membuka sesi ceritanya. "Aku selama ini kuliah gak pernah fokus. Pasti kepikiran Mama, Papa, sama kalian semua. Apa aku bisa jadi kakak yang baik untuk kalian, apa aku bisa jadi contoh yang baik untuk kalian. Dan, apa aku bisa jaga kalian. Itu ngebebanin pikiran aku. Aku gak pengen kalian jadi gak bahagia karena Papa sama Mama pisah dan gak tinggal di sini lagi. Aku pengen kalian tetep kayak dulu, ada ataupun tanpa ada Mama sama Papa."

"Tapi, kalau kakak mastiin kita bahagia terus, yang mastiin kakak bahagia siapa?" Tanya Jisung pelan.

Mark tertegun. Selama ini dia tidak pernah memikirkan hal tersebut. Dia bertindak demi keluarganya. Bukan dirinya sendiri. Dan itu yang membuat Mark menjadi terpukul atas kata-kata yang dilontarkan Jisung.

Mark menepuk pelan kepala Jisung. "Gapapa Ji, aku bisa sendiri kok."

Jisung mempercayakan kakaknya. Meski Mark jarang sekali bercerita tentang dirinya dan perasaannya, namun Mark orang yang kuat, dan Jisung yakin.

Malam kala itu dipenuhi oleh kejujuran. Kejujuran antara perasaan, cerita, dan perhatian. Semua orang jujur kecuali kedua orang ini. Haechan dan Renjun yang kerap menyembunyikan perasaannya. Tidak ada yang tau apa yang mereka rasakan sekarang sebelum melihatnya sendiri.

———————————————————–

Are we a family?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang