lima belas ; penyesalan

2K 143 1
                                    

Recommendation song :
Somewhere Only We Know - Keane


























Keenam anak ini menunggu satu saudaranya di luar ruangan. Tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing.

"Kak Haechan kok.. bisa gini.." Chenle mendesah frustasi.

"Kak, udah coba kabarin mama papa?" Kali ini Renjun yang bersuara dengan suara seraknya.

Mark menadah menatap Renjun, lalu mengangguk. "Udah, cuma mereka kayaknya sibuk sama keluarga barunya. Papa cuma ngirimin uang karena lagi di luar kota, gak bisa kesini. Kalau mama.. mama katanya mau kesini cuma gak tau juga soalnya mama gak janji."

Renjun menghela napas dalam. Keluarganya benar-benar sudah hancur ternyata. Bukan hanya kolerasi antara anak-anak dan orang tuanya, namun juga kepedulian yang sudah terusir dari hati orang tua mereka. Hanya karena ada keluarga baru yang mereka miliki, bukan berarti ketujuh anak ini bukan keluarga mereka lagi kan?

"Di rumah kita kan gak ada cutter, kok Haechan bisa bunuh diri pakai cutter?" Tanya Jeno menatap Mark dengan perasaan kalut.

"Aku juga gak tau, selama ini benda tajam pasti adanya di dapur. Paling cuma gunting doang kan?"

Tubuh Renjun seketika membeku. Di rumah ini, hanya Renjun seorang yang memiliki cutter, dan tak ada seorang pun yang tau mengenai hal itu. Dia pun yakin Haechan tidak senekat itu untuk membeli cutter jika memang ingin mengakhiri hidupnya. Ada pisau di dapur yang bisa dia pakai untuk menggores lengannya. Namun semua ini mengganjal. Renjun yakin dialah penyebab mengapa Haechan mengakhiri hidupnya.

Renjun kemudian pergi tanpa kata-kata, melangkah dengan cepat tanpa arah. Mark dan Jeno yang masih berbincang mengenai Haechan serta Jisung dan Chenle yang menatap pintu yang tertutup sejak sejam yang lalu tidak menyadari perginya Renjun. Hanya Jaemin yang menyadari. Dia memutuskan untuk mengikuti kembarannya itu diam-diam.

Renjun berhenti di salah satu taman di Rumah Sakit yang terbilang cukup sepi. Dia terduduk di kursi kosong sembari menangis tanpa suara. Jaemin kemudian menghampiri Renjun perlahan dan memeluknya.

"Jun, kamu kenapa?" Tanya Jaemin lembut. Namun Renjun terus menangis, tanpa henti. Hingga dia merasa kelelahan dan menatap Jaemin dengan mata merahnya.

"Jaemin.." lirihnya.

"Iya? Kenapa, Jun? Cerita sama aku, ya?"

Renjun semakin berderai air mata. "Janji ya, kamu gak akan ngasih tau ini ke siapa pun."

Jaemin mengangguk. Perasaan tidak enak sudah menyelimutinya sedari tadi, namun dia abaikan. Hingga Renjun menarik lengan jaketnya dan menampakkan goresan-goresan yang membengkak dan memerah.

"Renjun.." Jaemin terkesiap melihat lengan Renjun yang sebegitu parahnya. Dia membenci dirinya sendiri karena kurang peka terhadap saudaranya yang satu ini, dan malah memikirkan egonya yang ingin terbang bebas.

"Semua salah aku, Jaemin. Salah aku yang udah bikin Haechan gini. Harusnya aku– aku kunci kamar aku biar Haechan gak masuk. Harusnya aku–"

Jaemin memeluk Renjun dengan erat. "Sssttt, Renjun. Denger, semua ini bukan salah siapa-siapa. Kamu, Haechan, bukan salah kalian berdua. Kalau emang Tuhan berkata begini, kita bisa apa?"

"Harusnya aku kunci kamar aku, Jaemin.. harusnya bukan Haechan yang di situ tapi aku.."

"Gak ada yang berhak ada di situ, Renjun. Kita harus bisa nguatin satu sama lain. Kita gak punya siapa-siapa lagi. Aku cuma punya kamu, Jeno, Haechan, Kak Mark, Chenle sama Jisung. Mama papa udah gak ada lagi buat kita. Kita harus kuat untuk kedepannya."

Renjun semakin menangis. Dia merasa dialah manusia yang paling jahat. Membiarkan saudaranya terbaring lemah akibat pisau kecil miliknya. Demi Tuhan Renjun benar-benar menyesal. Tanpa dia sadari, Renjun perlahan mulai putus asa. Menyalahkan dirinya dan siap untuk disalahkan.

———————————————————–

Haechan kini masih tertidur lelap meskipun sudah boleh dijenguk. Mark duduk di kursi sebelah kasur Haechan. Sementara yang lainnya duduk di sofa. Mereka memang meminta ruangan VVIP agar leluasa. Soal biaya, yah Harland bilang dia akan menanggung semuanya.

Jisung dan Renjun masih menangis lantaran Haechan yang belum bangun, dan tentu Renjun merasa menyesal. Sementara Mark menatap kosong pergelangan kiri Haechan yang diperban. Darahnya sudah berhenti mengalir namun dia selalu terbayang akan Haechan yang tergeletak berlumuran darah.

Haechan diberi obat tidur agar tenang terlebih dahulu. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan. Sedikit terlambat saja Haechan dapat dipastikan berhenti bernapas.

"Aku mau ngaku tentang sesuatu." Renjun bersuara dengan suaranya yang serak.

Semua mengalihkan atensinya ke Renjun, kecuali Jaemin. Dia menguatkan Renjun di sisinya.

"Tentang Haechan.. salah aku. Semua ini salah aku. Harusnya aku yang ada di situ. Haechan bunuh diri pakai cutter punya aku." Renjun terus menyalahkan dirinya sendiri. Tanpa henti.

"Semenjak papa sama mama cerai, aku selalu nyakitin diri aku sendiri. Aku ngegores pergelangan tanganku. Aneh, ya? Bodoh juga. Gak mikir kedepannya bakal gimana. Maafin aku," lanjut Renjun. Yang lainnya terdiam tanpa suara. Antara terkejut dan sedikit marah. Marah karena Renjun tidak pernah menceritakan hal ini.

"Coba gue liat luka lo." Jeno menarik lengan sebelah kiri milik Renjun. Dibuka perlahan dan terlihat goresan yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih.

"Maafin aku," cicit Renjun. Tak berani menatap mata siapa pun.

Mark menghela napas lalu berjalan mendekati Renjun. Dia menepuk bahu Renjun dan berlutut agar sejajar dengan Renjun. "Bukan salah kamu, Jun. Aku yakin jadi kamu juga susah, dari dulu kamu yang paling jarang dapet perhatian dari papa mama. Dan kamu tetep diam aja, gak berusaha untuk cari perhatian papa mama. Kamu yang paling mandiri. Liat buktinya kamu kerja sambil kuliah, kan?"

Air mata Renjun terus berlinangan di pipinya tanpa henti.

"Berhenti selfharmnya, ya? Tangan kamu cantik kalau bersih." Mark menepuk kepala adiknya itu dengan senyuman kecil.

"Aku sayang kamu, Renjun."

———————————————————–

Are we a family?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang