dua belas ; kenyataan

1.8K 134 1
                                    

Renjun dengan perlahan mengobati luka adiknya. Sesekali Jisung meringis kesakitan. Jujur, Jisung benar-benar tidak ingin satu pun keluarganya mengetahu hal ini. Dia takut hal ini akan menjadi masalah baru baginya di sekolah karena dia yakin kakak-kakaknya pasti akan melaporkan hal semacam ini ke sekolah.

"Mana lagi yang sakit?" Tanya Renjun. Jisung menunjuk sudut bibirnya yang membiru. Renjun dengan sigap mengobatinya.

"Kamu kenapa nggak pernah bilang, Ji?"

Jisung terdiam. "A–aku— aku takut, Kak.. Aku takut kakak marah.."

"Aku nggak akan marah, Ji. Justru aku marah sama mereka. Mereka tega nyakitin kamu, adik aku sendiri." Renjun mulai menangis.

"Kak Jun kenapa nangis?"

Renjun menyeka air matanya. "Aku sayang kamu, Ji. Aku benci liat kamu digituin kayak tadi."

Jisung tersenyum lalu memeluk kakaknya. "Kak Jun janji ya, jangan kasih tau siapa-siapa."

Renjun mengangguk pelan lalu memeluk adiknya. Dia mengusak pelan rambut adik kesayangannya lalu menenggelamkan kepalanya di pundak Jisung.

———————————————————–

Haechan melangkah masuk ke dalam rumah. Terasa sepi, seperti hatinya. Meskipun Haechan selalu tersenyum dan tertawa namun dia tetap merasa kesepian di lubuk hatinya. Saudara-saudaranya tetap tidak membantu mengatasi rasa kesepiannya yang mendalam.

"Kak! Nonton bareng sini, lagi ada film doctor strange," panggil Chenle.

Haechan mengangguk. "Bentar aku ganti baju dulu ya."

Haechan melangkah masuk ke kamarnya. Saat sedang mengganti bajunya, seketika suara di kepalanya mulai bermunculan.

"Haechan mending lo mati aja."

"Lo gak berguna."

"Bunuh diri sana."

"Lo gila, Chan."

"Mati aja sana, semuanya bakal lebih baik tanpa lo."

Haechan menutup telinganya. Dia merasa pusing mendengar suara-suara yang tak dia kenal. Dia berusaha menenangkan diri namun tak berhasil. Akhirnya, dia memilih untuk keluar dari kamarnya dan tersenyum kepada Chenle.

———————————————————–

Jaemin dan Mark kini berada di Rumah Sakit. Singkat cerita, Mark menemukan Jaemin yang sedang menahan sakitnya di mejanya. Mark segera membawa Jaemin pergi ke Rumah Sakit karena takut terjadi sesuatu kepada Jaemin. Beruntungnya Jaemin hanya mendapatkan oksigen tambahan untuk membantunya melancarkan pernapasan dan boleh pulang setelah napasnya sudah kembali normal.

"Kamu kenapa pergi dari rumah, Jaemin?" Tanya Mark dengan suara rendahnya.

Jaemin menatap Mark sebentar lalu menunduk. "Aku— aku juga pengen bebas, Kak. Aku pengen bebas kayak kalian semua. Aku capek jadi tahanan rumah."

"Tapi kamu kan gak boleh kelelahan Jaem, beruntung tadi kamu masih bisa nelepon aku, kalau enggak? Tolong pikirin untuk kedepannya, Jaemin. Dan sekarang operasi kamu dimajuin jadi bulan depan. Tandanya kamu bener-bener harus jaga kesehatan."

Jaemin hanya bisa mengangguk mengiyakan. Benar juga kata kakaknya, namun Jaemin hanya ingin mendapatkan kebebasan saja. Seperti yang lain.

Mark menghela napas lalu mengusak rambut adiknya. "Yaudah gapapa, hari ini ayo jalan-jalan sama aku. Kamu mau kemana?"

Seketika mata Jaemin berbinar. Senyuman terbentuk di wajahnya. "Beneran, Kak?"

Mark mengangguk lalu mencubit pipi Jaemin pelan. Yang dicubit pipinya hanya menggumam tidak jelas. Mark gemas, namun di satu sisi dia merasa kasihan. Dia melupakan bahwa Jaemin juga manusia dan bisa jenuh dengan penyakitnya sendiri. Dia juga ingin terbang bebas.

———————————————————–

Jeno merebahkan tubuhnya di kasur milik Hyunjin. Pemiliknya sedang pergi ke minimarket untuk membeli beberapa jajanan. Kepala Jeno terngiang-ngiang dengan kata-kata Chenle tadi. Apa iya dia sudah melewati batas? Nyatanya, selama ini saudara-saudaranya yang lain tidak memprotes apapun dari perubahan Jeno.

Jeno menghela napas lalu menutup matanya dengan jari-jarinya. Jujur, pelariannya tetap tidak berguna bagi Jeno. Balapan, merokok, membolos, semua itu tidak berguna. Dia tidak mendapatkan perhatian dari siapa pun. Hanya dirinya sendiri. Bahkan Mark pun tidak memperhatikannya. Dan itu membuat Jeno marah. Mengapa tidak ada satu pun yang mau menoleh ke arahnya? Dia juga membutuhkan perhatian dari siapa pun. Siapa pun.

"Lo ngapa dah?" Tanya Hyunjin yang melempar belanjaannya ke kasur.

"Hah? Enggak, cuma pusing aja."

Hyunjin mengangkat sebelah alisnya. "Lo yakin entar bisa balapan?"

"Yakin lah, cuma pusing doang."

Kini, Hyunjin yang menghela napas. "Jen, gue tau ya lo tuh ada masalah. Cerita kek, kayak gak guna banget gue jadi temen lo."

Jeno tertawa. "Apa sih bangsat, gue gapapa. Geli gue denger lo kayak gitu."

"Yeu anjrit, gue perhatiin lo malah geli. Padahal muka lo kayak cowok abis diputusin, melas banget."

"Dih, gak jelas lo." Jeno melempar bantal ke arah Hyunjin. Yang dipukul hanya mendelik kesal.

"Gue entar malem pulang, Jin. Gue rasa udah waktunya gue pulang, gak enak sama lo."

Hyunjin mendecih. "Gak enak sih nginep di sini dua minggu."

"Jangan gitu dong, gue makin gak enak bangsat."

Hyunjin hanya tertawa lalu mengangguk. "Hadapin masalah lo bro, lo gak bisa kabur selamanya. Suatu hari lo bakal hadapin masalah lo. Soal balapan, santai aja lah nanti gue urus." Hyunjin menepuk bahu Jeno lalu bangkit dari kasur, melangkahkan kakinya keluar kamar.

Kata-kata Hyunjin membuat Jeno sedikit tersadar. Mau bagaimana pun memang dia menghindari keluarganya. Ah sial, Jeno sekarang merasa bersalah.

———————————————————–

Are we a family?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang