Setelah dua bulan di Rumah Sakit, dan Jaemin yang melewatkan operasinya dengan lancar. Haechan mulai mengerjapkan matanya, tersadar dari komanya. Tubuhnya terasa remuk dan lengan kirinya sangat perih.
Dia menoleh melihat Mark yang tertidur di kursi sementara yang lainnya tidur di lantai. Haechan tidak melihat Jaemin dan Renjun, entahlah Haechan sedikit pusing. Mungkin dia berhalusinasi.
Jemarinya bergerak pelan, ingin menyentuh lengan Mark namun tidak mampu. Suaranya juga tidak bisa keluar dengan lantang seperti biasanya. Dia kemudian menatap langit-langit dan air matanya turun. Haechan mengingat perbuatannya dua bulan lalu. Isakan kecilnya membuat Mark terbangun dan sungguh, Mark ikut menangis melihat adiknya kembali ke dunia ini.
"Echan.." Lirih Mark. Haechan menoleh dengan matanya yang dipenuhi genangan air.
"Tunggu di sini ya, aku panggil perawat dulu." Mark segera berlari keluar memanggil perawat, memberi tau bahwa Haechan kini sudah bangun.
Perawat segera pergi ke ruangan di mana Haechan dirawat dan mengecek keadaannya. "Keadaannya baik mas, cuma memang masih harus dirawat beberapa hari."
Mark mengangguk mengerti, kemudian perawat tersebut meninggalkan ruangan. Mark menatap Haechan lagi. Dia rindu dengan adiknya. Adiknya yang berisik, adiknya yang selalu ceria, adiknya yang pandai menahan cerita.
"Kak, udah ah jangan gitu mukanya. Kayak orang lagi banyak utang," protes Haechan dengan suaranya yang serak.
Mark kemudian tertawa. "Masih aja bercanda lagi begini juga."
"KAK HAECHAAANNN!" Teriak Chenle yang baru bangun. Dan ya, suaranya yang melengking mampu membangunkan Jeno dan Jisung yang tertidur pulas.
"Haechan udah bangun?!"
"Kak Haechan.. Aku kangen.."
Mereka bertiga menangis melihat Haechan yang sudah terbangun. Sementara Haechan tertawa melihat tingkah mereka bertiga. Kapan lagi dia bisa melihat saudara-saudaranya menangisi dirinya?
"Hai, kangen ya?" Kekeh Haechan masih dengan suara seraknya.
Jeno dengan refleks menyentil dahi Haechan. "Hai kangen ya, hai kangen ya. Kurang ajar lo setan mau ninggalin kita." Air mata Jeno masih mengalir sejujurnya namun dia masa bodo, yah lupakan gengsi untuk saat ini.
"Telepon kak Jaemin sama kak Renjun, kak," ujar Chenle kepada Mark. Mark kemudian segera menelepon mereka berdua.
"Halo?"
"Halo." Haechan yang berbicara. Menimbulkan pekikan keras dari Renjun.
"Haechan udah sadar?! Aku mau ke sana!"
"Jangan, jagain Jaemin aja."
"Jaemin kan bisa diajak."
"Yaudah terserah aja."
"Aku kesana ya, bye!"
Telepon dimatikan oleh Renjun. Haechan hanya menggeleng sembari tersenyum.
"Mama sama papa gak dateng, kak?" Haechan melirik Mark yang sibuk mengusap rambut Haechan.
Mark menggeleng. "Mama.. mama dilarang sama suami barunya, kalau papa katanya di luar kota."
Raut wajah Haechan seketika berubah. Terasa pahit di hatinya mendengar kata-kata yang dilontarkan Mark. Pahit sekali sehingga dia ingin menangis rasanya.
"Nangis aja, jangan ditahan," bisik Mark di telinga Haechan.
Air mata mulai turun dari ujung mata Haechan, rasa yang dia rasakan terlalu sakit. Hingga rasanya ingin meledak saja emosinya.
———————————————————–
Jaemin dan Renjun berjalan cepat, ah tidak. Berjalan sedikit cepat karena terkadang rasa sakit sering menghampiri Jaemin.
Mereka tidak mengetuk ataupun melirik namun mereka langsung menerobos pintu kamar Haechan. Terlihat mereka semua sedang bercanda lalu menoleh melihat Jaemin dan Renjun yang bercucuran keringat.
"Hai," sapa Haechan dari kasurnya. Kedua insan itu langsung membuang muka kesal.
"Hai? Lo bilang hai? Gila lo, Haechan! Kita hampir kehilangan lo ya, dan lo cuma bilang hai. Gila lo!" Omel Renjun pada Haechan. Jaemin lebih memilih untuk menyimak saja, dia tidak berani untuk masuk ke dalam perdebatan keduanya.
"Ngomong-ngomong, yang kamu rasain sebenernya apa sih, Chan? Kok kamu bisa sampai bertindak sejauh ini?" Tanya Jaemin. Bukannya penasaran, hanya saja Jaemin khawatir.
Haechan menghela napasnya. "Sebenernya tuh, aku suka denger suara-suara di kepalaku. Banyak suaranya. Dan aku sendiri gak tau itu suara siapa. Aku biasanya selalu mengabaikan suara-suara itu. Tapi aku kena trigger." Haechan melirik Renjun. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Haechan sebetulnya, namun dia tahan.
"Maaf ya, Chan." Renjun menunduk, tidak berani menatap Haechan.
"Maaf kenapa?" Tanya Haechan kembali.
"Maaf, kamu pasti ke trigger gara-gara aku. Aku gak bertanggung jawab banget ya jadi kembaran kamu."
Haechan meraih jemari Renjun dan menggenggamnya. "Bukan salah kamu, semua ini bukan salah kamu. Bukan juga salah aku. Gak ada yang salah di sini, Jun. Yang penting sekarang aku gak apa-apa dan kamu juga."
"Haechan udah ketemu sama psikiater, kamu mau kapan, Jun? Biar aku yang cari," ujar Mark menimbrung.
Renjun terdiam. Dia melirik Haechan dan obat-obatan di nakasnya. "Terserah kakak aja, aku ngikut."
"Hari sabtu mau?"
Renjun mengangguk setuju. Setidaknya kali ini akan ada yang peduli padanya. Akan ada yang mendengarkan ceritanya. Akan ada yang menghentikan dirinya dari perbuatan negatif yang terus dia lakukan. Renjun kini bersyukur memiliki keluarga seperti mereka. Dia tersenyum menatap keluarganya yang sedang bercengkrama bersama. Ah, terima kasih Tuhan.
———————————————————–
Kalau end di sini gantung banget ga sih HAHA.
BERCANDA AKU GA BAKAL BERENTIIN DI SINI :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Are we a family?
Fanfiction❝Semua yang memiliki masalah masing-masing dengan pelariannya❞ - gi.