Lara demi secercah tawa

0 0 0
                                        

“Yes!” ucap Yanuar penuh kegembiraan, melepas cewek yang berada dihadapannya.

“Ih, Yanuar!” ucap Wika dengan pipi yang semakin memerah melihat tingkah Yanuar bagai anak kecil.

“Hehe, Wik .. udah boleh dong, nih?” ucap Yanuar kembali mendekati cewek itu dengan kembali memojokkan.

Suasana toilet itu begitu hening, mengingat di kelas pelajaran telah berlangsung sejak beberapa waktu lalu.

Cewek itu masih saja ditatap oleh Yanuar, entah apa yang cowok itu pikirkan. Kehangatan keluar dari tubuh kekar Yanuar masih saja terasa menyentuh tubuhnya. Tatapan yang kian mesra itu, membuat Wika mengangkat kedua alisnya seakan bertanya, ‘Apa?’

“First kiss,” ucap Yanuar dengan tersenyum.

“What?!” ucap Wika terkejut, terlebih mata Yanuar kini mulai terpejam mendekat menyisakan jarak nol koma satu sentimeter.

“Ahhh! Sakit, Wik!” ucap cowok itu, menyadari hentakan keras pada kakinya.

“Jangan berisik, ini toilet cewek, tahu!” bisik Wika.

***********

Hari demi hari berlalu, namun luka yang diharap sembuh dengan berjalannya waktu malah kian menganga.

Angin masih saja membawa kabar lara, celotehan dari bibir ke bibir masih saja mengucap kabar duka.

Entah apa yang sebenarnya terjadi pada cowok itu, bahkan dia pun 'tak dapat mendefinisikan perihal perih itu.

Ruang kamar pribadi dengan cat dinding berwarna orange terlihat begitu suram akhir ini, penerangan lampu 'tak pernah sedikitpun menyinari.

Bukan karena kehabisan daya listrik, namun rasa suram yang kian berkecamuk.

Bagai kapal pecah kali ini, sudah tiga hari cowok itu tidak memunculkan batang hidungnya pada khalayak ramai.

Coretan pada daftar absensi kelas masih saja tergores dengan kata yang sama, ‘Sakit’ begitulah kira-kira yang orang tahu.

“Arghhhh ... sial!” ucap cowok itu dengan menyandarkan tubuhnya yang kian lemas 'tak berdaya, ia meringkuk di bawah lemari putih tempatnya biasa menyimpan pakaian.

Air bening berlinang membasahi pipi seakan ingin menganak sungai.

“Kenapa begitu, Wik!? Kenapa!? Bukankah gue sudah berusaha menunjukkan!?”

Brak ...

Seluruh buku kembali berjatuhan, usai cowok itu menendang meja yang berisikan tumpukan buku.

Bahkan kamar itu kini mulai terlihat semakin hancur 'tak dapat digambarkan, kepingan kaca berserakan di atas keramik putih dengan bercak darah sebagai luapan emosinya.

Sudah tiga hari itu juga dia menyiksa diri tanpa sesuap nasi atau bahkan air untuk tubuhnya.

Knock pintu masih saja cowok itu kunci dengan rapat, 'tak satupun orang yang berani masuk mendekatinya bahkan sekedar mengetuk pintu.

Jam dinding telah menunjukkan waktu bahwa hari akan segera sore. Jemari dengan merah darah yang mengering mulai ia usapkan pada netra miliknya akibat samar karena tertutup embun.

Tok tok ..

Kali itu adalah ketukan pintu pertamanya, entah siapa juga yang memberanikan diri untuk hal itu.

“Gue boleh masuk?!” ucap cowok yang ternyata adalah Fadhlan.

Cowok itu hanya menatap pintu yang terus membunyikan ketukan berulang kali, bahkan segala suara yang telah keluar dari mulut cowok yang telah berdiri didepan pintu itu.

G O S T I N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang