05| Keluarga Baru Yang Penuh Luka

256 28 30
                                    

Setelah kepergian sang Mama, Eza terus merasa kesepian, apalagi sejak sang papa juga ikut pergi meninggalkannya untuk kerja di luar negeri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah kepergian sang Mama, Eza terus merasa kesepian, apalagi sejak sang papa juga ikut pergi meninggalkannya untuk kerja di luar negeri. Lelaki itu sangat menginginkan keluarga yang utuh lagi, keluarga yang harmonis, keluarga yang saling sayang satu sama lain seperti dulu.

Namun, sekarang hanya tinggal lah sebuah kenangan, kenangan dimana keluarga Eza masih sangat harmonis. Jika di ingat-ingat keluarganya yang dulu itu sangat penuh canda tawa.

Tetapi, semuanya sudah berubah, berubah drastis sejak sang Mama di nyatakan meninggal. Sang Papa yang dulunya sangat sayang dengan Eza, berubah menjadi dingin dan tak peduli lagi dengannya, semua itu berubah karena kepergian sang Mama.

Kepergian sang Mama memang banyak membawa kepedihan dan luka yang sangat dalam bagi Eza. Dan seketika itu juga hidup Eza berubah drastis menjadi lelaki yang memilukan.

Kanker otak adalah penyakit yang di takdirkan Eza tepat saat dia kehilangan sosok ibu dalam hidupnya. Penyakit yang perlahan demi perlahan bisa membunuhnya. Dan kemungkinan kesempatannya untuk hidup tak lama lagi.

Kanker otak stadium 4, atau kanker otak tahap akhir dalam penyakit ini. Efek samping dari kanker otak stadium akhir ini semakin banyak efek yang bisa menyebabkan kematian. Dan hilang ingatan adalah salah satu efek dari kanker stadium akhir.

Eza merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya, sayup-sayupnya menatap langit kamar. Seusai menemani Amara berjualan seharian membuat sekujur tubuhnya merasakan pegal-pegal. Lelaki itu menghela nafasnya panjang. Melelahkan.

Baru bekerja segitu aja ia sudah kecapekan, gimana ia ingin mulai bekerja kalau kayak gitu. Lelaki itu juga butuh kerja untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, mengingat uangnya yang mulai menipis. Tidak mungkin juga Eza harus bergantungan oleh sang papa, yang tidak tau gimana kabarnya sekarang.

"Gue lemah banget sih jadi cowok, masa gue mau nyerah gitu aja," lirihnya pada diri sendiri. "Benar kata Ara, gue gak boleh lemah kayak gini, gue harus tetep berjuang."

Sedetik kemudian Eza merasakan hidungnya mengeluarkan cairan kental. Lagi dan lagi ia mimisan tanpa sebab. Dan tanpa permisi pun daerah kepalanya terasa nyeri. Ia segera beranjak dari posisinya dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.

Sesampainya di wastafel, Eza membasuh darah yang terus mengalir dari hidungnya. Wajahnya sekarang berubah menjadi pucat pasi. Setelah darah itu berhenti keluar dari hidungnya, ia menatap pantulan wajahnya lewat kaca wastafel.

Penyakitnya tak pernah tak absen tidak kambuh. Bahkan makin hari penyakit itu semakin berdampak besar padanya. Ia bingung harus bagaimana sekarang.

Kemudian kaki jenjangnya melangkah menuju meja belajarnya. Membuka laptopnya, dan mencari informasi tentang efek samping dari penyakitnya itu.

Layar laptop tersebut melihatkan beberapa gejala dari kanker otak stadium akhir. Jantung Eza berdetak berkali lipat membaca seluruh artikel tentang apa saja gejala dari penyakitnya itu. Air mata pun berjatuhan dari mata indahnya.

Untuk Eza [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang