01

218 24 2
                                        

Dimalam ini, hujan turun. Seakan menumpahkan semua bebannya pada bumi yang beberapa bulan ini dilanda musim kemarau. Hawa dingin menusuk kulit seorang pemuda berkulit putih. Membuatnya langsung mengeratkan sarung yang ia jadikan sebagai selimut.

"Bang, udahan masaknya?" Tanyanya seraya meringkuk disamping tembok.

"Bentar, ini mi nya hampir mateng." Suara berat seorang laki-laki menyapa indra pendengaran pemuda bernama Pangeran tersebut.

Tak berniat menjawab, Pangeran saat ini tengah sibuk menghangatkan badannya. Rumah kecil dengan beberapa lubang kecil yang menghiasi rumah tersebut membuatnya kualahan mencari tempat paling hangat.

Tak lama seorang pemuda membawa 2 mangkuk mi berjalan menghampiri Pangeran. Ia duduk disebelah Pangeran yang masih memejamkan matanya.

"Pangeran. Bangun, nih mi nya udah mateng." Ujar pemuda bernama Wahyu itu sembari menggoyangkan sedikit tubuh Pangeran. Dengan semangat Pangeran langsung mendudukkan tubuhnya dan segera menyantap mi kuah yang masih panas itu.

"Do'a dulu heh. Jangan langsung dimakan." Wahyu segera memperingatkan Pangeran kala ia melihat Pangeran yang langusng menyantap mi tersebut.

Karena mendapat teguran dari Wahyu, Pangeran pun menghentikan aktifitasnya sejenak hanya untuk membaca do'a makan dalam hati. Setelah selesai ia kembali menyantap mi yang membuat tubuhnya menjadi lebih hangat dari sebelumnya.

Tak ada percakapan diantara mereka berdua, keduanya tengah sibuk melahap mi yang masih hangat itu.

"Alhamdulillah." Ujar Pangeran ketika ia selesai memakan mi tersebut. Ia segera meletakkan mangkuk kotor itu didepannya.

"Bang, gimana kalo Pangeran berhenti sekolah aja? Bantuin bang Wahyu kerja. Pangeran kasihan liat bang Wahyu kecapean terus." Pertanyaan Pangeran itu sukses membuat Wahyu tersedak. Ia pangsung meminum segelas air putih yang tadi sempat ia siapkan.

Ditegaknya hingga tandas. "Kamu ngomong apa sih?" Tanya Wahyu dengan raut tidak suka.

"Abisnya bang Wahyu keliatan cape banget. Liat tuh, kantong matanya tebel banget. Pasti bang Wahyu nggak cukup istirahat kan?" Ujar Pangeran sembari menatap kantung mata Wahyu yang kian menebal.

"Nggak! Abang nggak setuju. Kamu tuh masih sekolah, fokus sekolah aja. Masalah pekerjaan itu tanggung jawab abang." Ujar Wahyu sembari melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

"Tapi kan Pangeran pengen bantu abang." Kekeh Pangeran sembari memasang raut wajah menyebalkannya.

"Nggak! Bulan lalu kamu bantuin abang nyapu jalanan kamu malah jatuh kan? Alhasil apa? Kaki kamu cedera." Ujar Wahyu memperingati Pangeran yang memiliki sifat keras kepala.

"Tapi kan itu cuma kecelakaan bang. Janji deh kali ini Pangeran bakalan ati-ati." Ujar Pangeran sembari mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk peace.

"Nggak! Abang sama sekali nggak ngijinin kamu. Lebih baik kamu belajar yang rajin aja Ran. Lulus dengan nilai yang bagus, biar gampang cadi kerja. Biar nggak kaya abang yang kerja serabutan." Ujar Wahyu dengan nada lembut seraya mengelus surai hitam Pangeran.

"Tapi."

"Nggak ada tapi-tapi." Potong Wahyu ketika sifat keras kepala Pangeran mulai muncul.

From Home [Zhong Chenle]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang