RAINA
Saat berkuliah di Jogja aku dan teman-temanku memiliki satu tempat yang menjadi tempat andalan kami untuk berkumpul saat menunggu kelas berikutnya.
Warung Tarjo.
Sebuah rumah sederhana yang dijadikan tempat makan yang selalu ramai oleh anak kuliah. Warung Tarjo adalah warung yang dikelola oleh Bapak Tarjo dan istrinya, yang sampai saat ini aku tidak tahu siapa namanya karena selalu dipanggil Ibu Tarjo. Dua orang paruh baya yang sehari-harinya sibuk meladeni remaja tanggung yang pusing dengan dunia perkuliahan.
Dulu setiap kali aku berada di Warung Tarjo, aku sering memperhatikan interaksi antara Pak Tarjo dan istrinya. Pak Tarjo dengan segala leluconnya yang selalu berhasil membuat Bu Tarjo tertawa, meski sesekali Bu Tarjo terlihat memutar matanya malas karena mendengar lelucon Pak Tarjo yang mungkin sudah pernah dilontarkan. Tapi tetap ada senyuman itu dan tepukan pelan dilengan Pak Tarjo. Pak Tarjo selalu memperhatikan hal kecil tentang istrinya. Sesederhana mengambilkan air putih di kulkas depan saat Bu Tarjo sibuk memasak di dapur atau saat Bu Tarjo duduk didepan warung sambil mengipas-ngipas karena kepanasan maka Pak Tarjo akan datang dan mengambil alih kardus bekas yang dipakai istirnya untuk mengipas. Kalau diledeki oleh anak-anak tongkrongan Pak Tarjo akan menjawab logat Jawa yang kental,
"Kasihan dong istriku, nanti tangannya pegal. Tidak bisa pijati aku nanti malam."
Yang dijawab dengan sorakan dari anak-anak, karena gagal romantis katanya.
Pernah suatu ketika aku sedang mengobrol dengan Bu Tarjo, hanya berdua. Awalnya hanya membicarakan tentang kondisi ayahku dan kehidupan perkuliahan ku, lalu pertanyaan beralih kepada masalah percintaan. Bu Tarjo menanyakan apakah aku sudah mempunyai pacar atau belum dan entah ada dimana kesadaranku aku malah menceritakan tentang hubunganku dengan Rei. Dari awal sekali sampai akhirnya kami berpisah. Aku hampir menangis saat itu, entah karena sedih atau karena terharu aku bisa bercerita dengan seseorang yang sikapnya seperti mama. Sampai tiba-tiba Bu Tarjo menggenggam tanganku yang saat itu berada dipangkuanku.
"Dalam suatu hubungan, bicara satu sama lain itu terpenting. Mau kamu mengerti atau tidak, semua harus dibicarakan. Kalau tidak mengerti ya pahami bersama-sama. Salah satu membuat kesalahan, dibicarakan kenapa bisa terjadi dan alasannya apa. Jangan lari dan menolak penjelasan. Seberapa besar pun ketakutan kita untuk merasa tersakiti dengan penjelasannya, kita tetap harus bisa dan mau mendengarnya. Karena kalau tidak, kita tidak akan pernah lepas dari perasaan gelisah. Kita tidak akan pernah benar-benar ikhlas."
Dengan terbatasnya kosakata Bahasa Jawa yang kumiliki saat itu, aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bu Tarjo. Namun perlahan mulai aku jabarkan terjemahannya di kepalaku, satu persatu secara perlahan. Sampai di titik aku memahaminya namun masih menyanggah. Aku merasa diriku baik-baik saja. Aku merasa kalau aku sudah tidak peduli dengan apapun yang terjadi kepada Rei dan masa lalu kami. Namun akhirnya aku berada dititik menyadari bahwa masih ada sesuatu yang bergantung dalam diriku. Perasaan mengganjal yang aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya untuk menghilangkan perasaan itu. Perasaan yang menghalangiku untuk merasakan jatuh cinta lagi.
I almost forgot how it feels to be loved. I fell in love for the first time 8 years ago, with the man who is standing in front of me right now.
Laki-laki yang masih berutang penjelasan kepadaku sampai saat ini. Lalu bisa-bisanya ia datang dan merecoki pertahanan yang sudah aku bangun bertahun-tahun. Dan bodohnya, aku membiarkan ia masuk lagi kedalam hidupku.
"Na, ayo?"
Aku tidak bergeming, sedangkan Rei menatapku bingung. Rasanya kepalaku kosong dan aku tidak bisa berpikir dengan benar. Kalau aku menagihkan penjelasan saat ini rasanya aku akan terlihat bodoh. Kenapa baru sekarang, kenapa tidak sejak awal pertemuan kembali kami. Aku bodoh karena dengan mudahnya membiarkan ia masuk ke kehidupanku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEET YOU [COMPLETED]
General Fiction[Cursory's Sequel] Ini tentang Raina Kalana Geraldine, tentang cinta pertama dan lukanya. Tentang caranya untuk menghadapi luka itu, tentangnya yang ingin menyembuhkan luka itu. Tentang dilema antara kerinduannya terhadap Kota Jakarta atau kerinduan...