The Distance Are Still There

1.3K 101 5
                                    

RAINA

Dari kecil, ayah dan mama sudah mengajarkanku untuk mengucapkan kata tolong-terima kasih-maaf. Kata ayah, mau sebesar apapun kesalahan orang lain itu, kita harus bisa memaafkannya. Tuhan saja maha pengampun, masa kita yang hanya umat-Nya tidak bisa memaafkan sesama. Maka itu aku lebih memilih memaafkan daripada memperpanjang masalah.

Saat SMP dulu, aku pernah dilabrak oleh salah seorang teman ku. Katanya aku ini cewek nggak tau diri yang deketin pacar dia. Padahal, aku dan pacarnya itu hanya duduk bersebelahan karena kebetulan kursi di sebelahku kosong. Apa lagi, bukan aku yang menghampiri pacarnya itu yang ada pacarnya yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Setelahnya aku minta maaf kalau dia tidak suka dengan hal itu, aku minta maaf karena aku tidak mau memperpanjang masalah. Kedua orang tuaku mengajarkan aku untuk berani mengucapkan maaf terlebih dahulu, mau aku yang salah ataupun bukan. Karena kata mereka, meminta maaf itu bukan berarti selalu kita yang salah, bukan selalu berarti kita kalah, tapi berarti kita lebih dewasa daripada lawan kita. Saat bercerita pada Gina, Gina mengatakan kalau aku bodoh mau meminta maaf duluan, katanya hal itu membuat aku terlihat lemah.

Gina itu sering sekali berurusan dengan kakak kelas maupun teman seangkatan kami. Gina dikenal sebagai cewek barbar saat sekolah dulu, untung saja sekarang sudah tidak terlalu barbar.

Hari ini hari terakhirku di Jogja. Setelah dua hari yang lalu datang ke rumah Tante Demi, Rei tidak menunjukkan dirinya lagi. Mungkin dia sudah kembali ke Jakarta, aku tidak tau.

Setelah Rei pulang, aku langsung menelepon Gina. Dan ternyata benar, Gina yang memberi tau alamat ku pada Rei. Gina meminta maaf pada ku, karena tidak bertanya terlebih dahulu padaku. Rei terus mengganggu Gina, meneror Gina. Rei masih sama seperti tahun yang lalu, masih dengan sikapnya yang kadang mengganggu.

Apa aku sudah memaafkan Rei? Beberapa tahun lalu, pertanyaan itu sering kali menghantui ku. Aku memaafkan Rei? Mungkin sudah. Tapi untuk melupakan hal yang Rei lakukan, mungkin aku belum bisa. Saat pertama kali melihatnya lagi, setelah lima tahun berlalu, aku mau bersikap biasa saja didepannya. Kenyataannya aku tidak bisa, mendengar suaranya memanggil namaku lagi, melihat tatapannya padaku, aku tidak bisa bersikap biasa. Dan detak jantungku yang tidak bisa terkontrol membuatku resah, tidak nyaman.

Bohong kalau aku mengatakan aku tidak pernah berusaha mencari tau tentang nya selama lima tahun ini. Walaupun aku memblokir semua media sosialnya, aku tetap mencari tau. Melihat bagaimana kondisinya, mencari tau kehidupannya setelah aku tidak menjadi penghalangnya. Dan kenyataan kalau dia baik-baik saja menghancurkan ku. Kalau diingat lagi sekarang ini, rasanya bodoh saat aku mengharapkan Rei menunjukan kesedihannya di media sosial. Harusnya aku tidak senaif itu.

Aku memasukkan pakaianku ke dalam koper, memisahkan oleh-oleh yang sudah aku belikan untuk orang kantor dan Gina. Senin nanti aku kembali ke kantor, dan mungkin saja Rei kembali nongkrong di gedung kantor ku lagi. Mungkin kalau aku hanya marah kepada Rei, semua akan mudah. Aku hanya perlu memaafkannya dan semua bisa kembali lagi.

Tapi, sekarang ini aku bukan hanya sekedar marah, aku kecewa. Dengan semua kepercayaan yang aku berikan, dengan usahaku untuk mempertahankan hubungan kami, lalu dengan mudahnya ia menghancurkannya begitu saja. Membuat aku tidak berniat mempertahankan tentang kami lagi.

***

Bandara Internasional Soekarno-Hatta ramai sore ini, aku mengedarkan pandanganku mencari sosok Gilang ditengah keramaian. Gilang berjanji akan menjemput ku sore ini, selepas jam kantor selesai.

Gilang disana. Berdiri bersandar pada pilar, sedang menelepon. Aku melambaikan tanganku saat dia menatap sekelilingnya, yang ku yakini sedang mencari keberadaan ku. Aku menghampiri nya, dia mengambil alih menarik koper ku. Berjalan lebih dulu menunjukkan arah parkiran mobilnya.

MEET YOU [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang