Menikah Muda

1.3K 60 16
                                    

Menikah di usia muda. Ya itulah kehidupan yang akan aku jalani. Melepaskan riuh rendah masa mudaku memasuki ruang kedewasaan dengan seribu tanggungjawab. Di usia 21 dengan status masih sebagai mahasiswi kedokteran, aku mantap menikah dengan seorang abdi negara. Namanya Bang Rey. Dia bekerja di salah satu institusi negara, yang terkenal akan sumpah setia untuk melindungi bangsa dan negara. Dia kebanggaanku dan kebanggaan orang-orang di sekitar kami.

Aku dan Bang Rey sudah berpacaran selama dua tahun. Kurasa itu waktu yang cukup untuk kami saling mengenal satu sama lain. Hanya kami memang jarang bertemu karena Bang Rey sering tugas dinas ke luar kota. Sebagai pasangan seorang abdi Negara, aku sangat memaklumi hal itu, toh yang penting kami selalu berkomunikasi. Tidak ada masalah, selain tentu saja rindu untuk sering berjumpa langsung. Namun ternyata tiga bulan sebelum tanggal pernikahan kami Bang Rey dipindahtugaskan di Jakarta, kota tempat tinggal kami berdua. Artinya kami bisa dekat tanpa harus jalani hubungan jarak jauh lagi.

Aku menatap kerlip bintang bertaburan di langit sana. Kurasa diriku nanti akan seperti bintang di langit itu. Bersinar seperti namaku, Mentari. Aku bisa membayangkan betapa cerahnya masa depanku bersamaBang Rey nanti. Tidak apa-apa aku memilih jalan berbeda dengan teman-teman sebanyaku. Umumnya mereka suka kebebasan, masih main sana main sini, cuci mata kesana kemari. Menikmati kebebasan jiwa muda, yang jauh dengan kata serius. Satu-satunya hal yang membuat mereka masuk dalam mode serius hanyalah dosen dan seputar perkuliahan.

Aku bisa membayangkan ekspresi teman-temanku yang kaget aku menikah di usia ini. Tapi ini pilihanku. Apalagi yang kutunggu? Pacar mapan, mandiri, bekerja di tempat yang diidamkan banyak orang.Apalagi yang harus aku tunda? Usiaku juga cukuplah untuk menikah sesuai peraturan negara. Prospek pendidikan yang kutempuh juga bagus, artinya aku tidak hanya sekedar jadi istri yang nganggur, aku bisa berdiri secara fnansial dengan kakiku.

Malam ini menjadi malam yang terindah dalam hidupku. Malam dimana kami akan menjalani serangkaian acara resepsi pernikahan. Aku bagai memasuki dunia dongeng, dimana aku duduk bersanding dengan pria gagah bak pangeran. Perasaan bahagia memenuhi hatiku, yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Bang Rey menggenggam tanganku sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan membelai lembut wajah suamiku yang telah menikahiku secara agama tadi pagi. Mobil pengantin kami melaju pelan menuju gedung pernikahan, di kawal oleh teman-teman Bang Rey dengan menggunakan mobil vooridjer, membelah mata-mata takjub yang menatap iring-iringan kami. Mobil kami sampai di depan pintu masuk utama gedung resepsi. Bang Rey membukakan pintu mobil pengantin bak pangeran, dan aku keluar laksana seorang putri raja. Gaunku sangat indah yang dibuat oleh seorang perancang terkenal. Gaun pink muda dengan kombinasi hijau, sengaja dibuat supaya selaras dengan pakaian Bang Rey. Wajar jika semua dibuat wah karena aku anak perempuan mama papa satu-satunya.

Memasuki gedung, kami melakukan sebuah prosesi. Ini prosesi yang biasa dilakukan seorang abdi negara saat menikah, dimana teman-teman Bang Rey berjajar rapi membentuk lorong. Mereka memakai seragam yang sangat gagah, dan kami berdua melewati lorong barisan tersebut. Ah, aku sangat bahagia. Aku telah resmi menjadi istri Bang Rey, mulai sekarang aku akan ikut kemanapun ia pergi.

Tamu yang hadir di pesta pernikahan kami sangat banyak. Papaku seorang pengusaha, beliau memiliki relasi luas. Sedangkan suamiku seorang abdi negara yang memiliki banyak senior dan atasan. Tentu saja mereka semua hadir. Gedung pernikahan kami ibarat kerajaan kecil untuk kami sekeluarga. Kami berdualah raja dan ratunya, walau hanya sehari saja.Pesta kami berakhir pukul 12 malam. Cukup larut dan melelahkan pastinya. Namun ini hari bersejarah dalam hidup kami berdua. Jadi lelah dan bahagia menjadi satu saat ini.

"Sayang, kita pulang kemana?" tanyaku kepada Bang Rey saat masuk ke dalam mobil untuk pulang.

"Kita langsung ke rumah dinas ya.." jawab Bang Rey enteng.

Aku yang baru saja duduk di jok mobil tentu saja terperangah. "Hah? Tapi aku belum siap-siap Bang.. koperku masih di rumah papa, " jawabku terkaget-kaget.

"Ga apa-apa sayang, kita bisa mampir ke rumah papa," jawabnya santai.

Kemudian Bang Rey menengok ke sopir dan bilang, " Pak, mampir ke rumah papa mama dulu, baru setelah itu ke rumah dinas ya.. " pinta Bang Rey kepada sopir yang mengendarai mobil kami, diikuti dengan anggukan sopir.

Kemudian kami menuju ke rumah dengan mengendarai mobil limo yang merupakan fasilitas yang diberikan gedung saat kami memesannya.

Aku tidak menyangka aku benar-benar diboyong ke rumah dinas. Aku seharusnya sudah siap segala-galanya saat menjadi istri Bang Rey. Institusi tempat suamiku bernaung sangat berbeda. Disiplin, taat aturan, no excuse. Tidak peduli pengantin baru atau tidak, semua sama. Tidak ada libur seenaknya, tidak adahoneymoon . Welcome to the real world, Mentari, bisikku dalam hati. Aku hanya bisa menghela nafas. Untung saja koper sudah siap, kami hanya tinggal ambil dan melaju menuju rumah masa depan kami.

Akhirnya kami sampai di rumah dinas suamiku. Rumah mungil yang tentu saja berbeda dengan rumah papa. Untungnya rumah ini telah direnovasi oleh mama kemarin, sehingga kami hanya tinggal menempati.Mama mempersiapkan semuanya, dari perabotan hingga isi kulkas, karena mama mengerti akan kesibukan kami berdua. Aku dengan perkuliahanku di kedokteran, dan Bang Rey dengan tugas dinasnya.

Rumah kami ini berada di kompleks asrama, dan kami menempati rumah di sisi pojok dekat jalan, tidak terlalu dekat dengan tetangga karena letak mereka beberapa petak dari rumah kami. Rumah ini bercat kuning, dengan satu kamar tidur yang berasal dari dua kamar dijadikan satu dengan kamar mandi dalam, kemudian ruang tamu, ruang makan, kamar asisten,dan garasi kecil. Saat Bang Rey membuka pintu, aku merasakan sesuatu yang baru di hatiku, dan pelan aku menghirup udara pertama rumah ini sebagai seorang istri.

Semilir angin kebahagiaan menyusup di relung hatiku. Inilah rumah kami, rumah masa depan tempat kami tidur untuk pertama kali, dengan harapan memiliki keluarga yang akan bahagia selamanya.

"Sayang besok kamu langsung ikut kegiatan ya. Besok ada acara. Ada ibu-ibu juga. Kamu nanti ikut. Sudah ada bajunya kan?" tanya abang mengalihkan pikiranku.

"Sudah ada sayang, tapi aku belum punya pin nya. Kata mba Tia harus pakai pin." Kataku denga risau. "Terus gimana ini dengan kuku aku, kan masih pakai kuku palsu gini.. " kataku dengan menunjukkan kedua tanganku ke wajah Bang Rey. " Apa nggak bisa ijin barang sehari saja Bang? Lagian ini udah jam 2 malam. Aku tuh belum siap. Bener-bener besok banget??" Jawabku kaget. Wajahku semakin cemas.

Bang Rey menjawab, "Santai aja, mereka tau kok kita baru nikah. Gapapa.." kata abang sambil senyum-senyum ke arahku menyaksikan kepanikanku.

"Kenapa kamu kok kamu senyum-senyum?" tanyaku kepada abang yang sepertinya sangat menikmati kepanikanku di hari pertama menjadi istri seorang abdi negara.

"Ga.. Aku nggak nyangka aja aku sudah punya istri kayak abang-abang yang lain." Abang berkata dengan raut muka yang semakin iseng.

Aku masih dalam dunia kepanikanku, namun aku ambil alih kendali dan berkata, "Ah udahlah aku mau tidur. Jam 5 pagi aku kan harus bangun besok. Aku harus siap-siap ketemu mba senior!" Jelasku sambil matiin lamu dan menarik selimut.

Abang Rey agak kaget dengan tingkahku, dan segera berkata,"Yah, sayang.. terus abangmu gimana? Dek, dek.."seru abang sambil nepok-nepok aku. Aku tersenyum-senyum dengan tingkah abang. Namun aku benar-benar capek hari ini, hingga yang awalnya cuma bercanda untuk ngledek Bang Rey, malah aku ketiduran beneran.

Malam terus merayap, gelap tak menyisakan waktu sedikitpun untukkku menikmati indahnya malam usai pernikahan kami. Capek dan capek itu yang kurasakan, berbalut dengan kecemasan akan pin, akan bagaimana esok hari saat bertemu dengan mba senior, lega juga karena telah menikah, dan berbagai macam pikiran di kepalaku. Ah entahlah.. satu-satunya yang kuinginkan hanyalah memejamkan mata dan tidur. Bermimpi indah akan esok hari.

Aku terus terlelap, hingga bulir-bulir embun mulai muncul perlahan di lembar dedaunan. Mengurai udara malam saat pagi menjelang, menyambut semburat cahaya kemerahan di langit. Tanda sang mentari muncul, dan tentu saja tanda diriku untuk bangun menyambut dunia baru.

Badai PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang