Sang rawi menampakkan sinarnya. Menyengat hangat tubuhku dalam mimpi yang terusik. Tubuhku merenggang. Bagian tubuhku yang tak terbalut pakaian serasa panas karena aliran radiasi yang diberikan sang mentari. Pagi ini, tubuhku serasa tak mau diajak kompromi.
Kepalaku berdenyut pelan. Seirama dengan detik jam yang terus berlalu. Menyisakan kunang-kunang di mataku. Kupatahkan sedikit kepalaku ke kanan dan ke kiri. Alhasil, leherku serasa berbunyi klek. Kuurut pelan tengkukku yang rasanya seperti ditindihi beban dua kilo.
Dengan langkah pelan, aku mencoba bangkit. Namun, belum sempat aku bergerak lebih jauh, ponselku yang kebetulan kuletakkan di atas nakas bergetar pelan. Membuat peganganku pada meja mengendur. Nama yang selalu menelfonku setiap paginya. Arka. Sahabat lelakiku yang sangat mengerti keadaanku.
"Halo."
"Hai. Apakah kamu baik-baik saja? Suaramu dari sini terdengar seperti singa tidak makan tiga bulan." Kekehnya.
Lelaki ini selalu bisa membuatku tersenyum. Selalu membuatku bahagia di tengah kesibukanku sebagai penulis. Membuatku enjoy berada di dekatnya. Meski tak kupungkiri, dia termasuk anak yang tampan dan mapan. Namun, perasaanku kepadanya hanyalah seperti kakak dan adik. Tidak lebih.
Kadang, aku merasa tidak enak kepadanya karena kebaikannya. Namun, dia sendiri yang membuatku selalu ingin bersamanya dan bergantung padanya. Kurasa, dia lebih cocok kupanggil kakak. Lelaki yang dewasa dan mampu membimbingku.
"Hey. Masihkah kamu di sana?" kalimatnya terdengar memaksa. Aku segera tersadar dari lamunan singkatku.
"Ya. Hanya sedikit pusing karena lelah. Aku harus menyelesaikan bukuku yang kedua." Ucapku pelan sambil memijit keningku.
Ia terdiam, lalu memutuskan panggilan. Kubuang kasar nafasku. Menggeleng pelan, dan melanjutkan aktivitasku. Hari ini, bukan waktunya untuk bersantai. Apabila tulisanku berhasil dimuat dan disetujui oleh penerbit, maka ini adalah kesempatan besarku. Aku bisa membanggakan orang tuaku lagi, dan masalah jodoh yang sering ditanyakan? Aku tak peduli.
Rambutku basah dan tergerai sepanjang setengah punggung. Rambutku yang masih basah tertempel pada punggung polosku yang belum terjamah oleh sehelai benangpun. Kuambil kaos pendek, dan tak lupa celana jeans panjang untuk menutupi kaki jenjangku.
Kudengar suara pintu di ketuk. Ketukannya terdengar sama sekali tidak santai. Menggedor cepat dan membuatku takut. Karena akupun hanya tinggal sendiri di sini.
Kuintip pelan dan mendapati Arka tengah berdiri dengan gusar di balik kemeja birunya yang digulung hingga siku dan jas hitamnya yang terlipat asal bersandar di tangan kokohnya.
"Arka? Ada apa?" tanyaku.
Ia berbalik, tak menggubris pertanyaanku. Kulihat ia membawa kantung plastik putih. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir tipisnya yang memukau setiap kaum hawa. Dihempaskannya tubuh tegap itu di kursi ruang makan.
Dengan sigap, ia menuangkan bubur ayam itu, membuat teh hangat, dan mengeluarkan beberapa biji obat. Seperi dikomando, aku duduk di sampingnya. Ia masih diam. Kuamati gerak-geriknya yang begitu sigap dalam membantuku.
"Kenapa kamu kesini?" tanyaku pelan, takut menyinggung perasaannya.
Saat ini hanyalah kebisingan semut jalanan dibawah sana yang meraung-raung. Aku menghampirinya. Ia tampak marah. Belum sempat aku menyenggol tangannya, ia memelukku dengan erat. Sangat erat seperti tak ingin dilepaskan.
"Sudah kubilang. Kalau capek, istirahat. Aku tahu kau sangat menyukai sastra. Tapi, bukan begini caranya! Kamu terlalu terforsir. Kalau begini terus, badanmu akan tersiksa Asya." Ia masih memelukku dan kini mengendurkannya perlahan. Ia tersenyum manis. Aku pun begitu, ia menggiringku untuk duduk di meja makan. Dia menungguku hingga aku selesai menyantap semuanya.
"Terimakasih. Seharusnya, tak perlu begini. Aku sudah terlalu banyak merepotkan." Ucapku dengan senyum yang mengembang di bibirku. Membuatnya juga tersenyum.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. Kurasa, Arka sudah terlambat masuk ke kantornya. Apalagi dengan jabatan yang semakin tinggi, ia pasti harus lebih disiplin dan juga memberikan yang terbaik bagi perusahaannya.
"Aku pergi dulu. Jaga kesehatan ya." Aku mengangguk. Ia membalikkan badan. Satu menit kemudian, punggung lebarnya telah menghilang dibalik belokan. Kututup kembali pintuku.
Seharusnya aku merupakan gadis yang beruntung. Disukai dan diperhatikan oleh Arka. Lelaki yang menjadi idaman wanita. Dia pernah menyatakan cintanya. Namun, waktu itu, aku harus fokus kuliah sehingga tidak bisa menghabiskan waktu dengannya.
Sekarang, ia mendekat lagi. Sebenarnya, ia tak jelek juga. Dan, apabila aku memilikinya, pasti akan membuat semua iri padaku. Namun, rasa ini beda. Aku hanya bisa menganggapnya sebagai kakakku. Tidak lebih.
Lamunanku sepertinya harus terhenti mengingat pekerjaanku yang menumpuk. Menyelesaikan tiap-tiap eksemplar yang akan dijilid nantinya.
Tubuhku terduduk di kursi yang biasanya kugunakan untuk menghabiskan waktuku seharian penuh. Ditemani secangkir teh yang pasti akan mendingin karena kucampakkan, camilan yang basi karena kubiarkan stoplesnya terbuka, dan mata yang penglihatannya mengabur seiring berjalannya waktu.
Waktu booting selesai. Laptop yang menemani perjuanganku dalam menulis sebuah karya sudah menunggu untuk tersentuh oleh jari-jariku. Menunggu aliran inspirasi yang mengalun sesuai irama musik yang selalu kudengar saat menuliskan karya. Kubuka aplikasi untuk menulis ceritaku.
Jariku bermain di sana. Menyisakan beribu puisi, berjuta kata, pengalun rasa murni dari dalam hati.
Entah ada rasa apakah dalam diriku. Ada rasa baru. Namun, aku tidak tahu itu rasa apa. Jika dijabarkan, sepertinya elipsis dalam hidupku sudah mulai terisi dengan bayang dan sikap manisnya. Aku, jatuh cinta. []
Akhirnya bab kelima selesai dalam waktu tiga jam. Membuat seluruh badanku nyeri. Kurenggangkan badanku. Kucoba berdiri dengan perlahan. Rasanya,dunia seperti berputar tak pada porosnya. Mataku berkunang, pandanganku meremang. Kemudian, aku melihat sebuah kegelapan. Tanpa secercah cahaya. Dan aku, tak mengingat apapun setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Terus Bersamamu
RomanceNasyaradana Almiradewi, seorang wanita muda yang merajut karirnya sebagai penulis. menorehkan sejuta prestasi dalam naungan hatinya yang tercurah pada sebuah tulisan. hingga ia mengidap suatu penyakit, dan hari-harinya begitu muram meski ada dua ora...