Aku tersadar dari tidurku. Entah tidur, entah pingsan. Aku mengerjap pelan. Mendapati Arka dan Raka yang datang ke ruanganku. Arka dengan matanya yang berbinar mendekatiku dan bercerita segala hal. Aku tidak bisa mendengar semuanya. Sesekali, aku mengangguk dan tersenyum tipis.
Sementara Raka, ia hanya berdiri di ambang pintu. Seperti menunggu Arka supaya melanjutkan kalimatnya hingga akhir. Ia terlihat lelah. Aku terkadang kasihan kepadanya karena harus merawatku dan mengurus hal lainnya. Tetapi, sungguh, di balik wajahnya yang lusuh, masih ada ketulusan dan kepercayaan untuk penyembuhanku.
Makin hari, kondisiku kian memburuk. Entah kapan, operasi pengangkatan akan terlaksana. Raka tak memberitahuku karena ini akan menjadi sebuah kejutan supaya aku tidak menerka-nerka apa yang akan terjadi di ruang operasi.
“Aku pergi ke belakang dulu,” pamit Arka seraya tersenyum manis dan mengelus rambutku pelan.
Raka masih berdiri di sana. Seutas senyum bertengger di wajah lusuhnya. Ia mendekat setelah tertunduk pada Arka saat Arka melewatinya.
“Kamu harus banyak istirahat. Operasi akan segera terlaksana. Kalau terlalu capek, bisa mengganggu,” ucapnya yang terdengar jelas di telingaku dari pada ucapan Arka yang panjang lebar.
“Maaf.” Ucapku lirih.
“Untuk?” tanyanya sembari mengelus rambutku.
“Semuanya. Karenaku, kamu jadi kelelahan,” ucapku sambil menunduk. Ia mencium keningku lagi.
“No problem. Kamu harus sembuh ya. Harus bisa bertahan, karena..”
“Karena apa?”
“Hohoiiyy! Rupanya kalian sedang bercakap-cakap. Apa aku mengganggu?” ujar Arka yang sudah selesai memenuhi panggilan alamnya.
Raka terkekeh. Sementara aku hanya tersenyum tipis. Kurasa, Arka dan Raka sudah pernah bertemu atau kenal sebelumnya. Dari cara mereka bertatapan dan bercanda, mereka terdengar sangat akrab.
Dua orang tampan di depanku, membuatku ingin tidur. Akhir-akhir ini, aku sering mengantuk juga. Mungkin, bagian dari tumor yang kuderita. Perlahan, mataku tertutup, lalu aku terhanyut dalam buaian mimpi.
***
“Ibumu harus segera tahu hal ini.” ucap Raka saat berkunjung ke kamarku.
Aku terdiam. Sebetulnya, aku takut untuk menyampaikan kepada ibuku. takut membebani pikirannya di usianya yang mulai menua. Ayah juga pasti akan kepikiran terus. Aku sudah banyak merepotkan mereka. Apalagi yang harus kuminta dari mereka?
“Tidak perlu. Memang kenapa harus melibatkan mereka?” tanyaku dengan nada yang meninggi.
Ia mengela nafas lalu menatapku sejenak. Membuatku makin sedih akan tatapannya.
“Kami tidak mau kehilanganmu. Jika keluarga tahu, itu akan mempercepat penyembuhan karena kalau ada apa-apa akan lebih mudah. Arka tidak bisa sepenuhnya membantumu. Dia juga sibuk, kan?”
“Kalau begitu aku bisa sendiri!” aku beranjak dari dudukku dan berjalan pelan ke arah ranjangku.
“Asya, tolong jangan keras kepala!” ucapnya dengan nada yang menunjukkan sedikit kekesalan. Air mataku menetes.
“Raka!” aku menghambur ke dalam pelukannya. Merasakan kehangatan. Baju yang dipakainya basah karena air mataku, namun, aku tak ambil peduli. Ia memelukku makin erat. Tak ingin dilepaskan. Sama seperti perasaanku padanya yang tak bisa kulepaskan seumpama aku pergi nanti.
Meniggalkan dunia ini. Meninggalkan orang yang kusayangi. Aku belum bisa. Meskipun aku tidak akan menyalahkan Tuhan juga bila aku dipanggil sesegera mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Terus Bersamamu
RomanceNasyaradana Almiradewi, seorang wanita muda yang merajut karirnya sebagai penulis. menorehkan sejuta prestasi dalam naungan hatinya yang tercurah pada sebuah tulisan. hingga ia mengidap suatu penyakit, dan hari-harinya begitu muram meski ada dua ora...