Matanya mengisyaratkan kebahagiaan. Tersirat dengan jelas mata gadis itu sangat berbinar.
"Kamu nggak kangen aku?" tanya gadis itu dengan canggung. "Atau udah ada perempuan lain? Kamu nggak inget janji kita?"
Sebetulnya, ia tak ingin menolak gadis ini. Gadis ini lebih lama bersamanya ketimbang Asya bersama Raka. Lagi pula, ini bisa dijadikan sarana untuk move on dari Asya, kan?
"Tentu saja aku nggak lupa. Aku bakalan inget janji itu. Ohya, gimana sekarang proesimu?" tanya Raka dengan ekspresi yang menunjukkan pura-pura bahagia.
"Aku udah tampil di mana-mana. Modelku nampilin beberapa. Aku juga udah ke New York, New Zealand, Paris, sama Austria,"paparnya dengan nadanya yang kekanakan. Rinta dari dulu memang tidak berubah. Masih suka memakai logatnya yang mirip anak-anak yang nerocos minta es krim.
"Selamat ya, aku tahu kamu memang berbakat," puji Raka penuh makna.
Ini adalah jalan yang harus aku ambil. Meninggalkan Asya dan kembali kepada Arinta. Mungkin, jalan ini jalan yang terbaik. Menghantarkanku pada kebaikan yang selanjutnya. Asya hanyalah cinta sesaat yang tak mudah terlupa. Sementara Arinta? Apakah dia cinta sejatiku? Ucap Raka dalam hati.
***
"Arka, anterin ke rumah sakit dong, aku harus kontrol," ucap Asya di telefon yang dijepit di antara rahang bawah dan bahunya. Sementara tangannya membersihkan meja di depannya. Meja yang sudah hampir tiga minggu lebih tidak ditempatinya untuk bekerja.
Seutas senyum mengambang di wajahnya yang semakin hari semakin cantik. Tubuhnya juga tidak sekurus dulu. Ia mulai membaik walau harus selalu melakukan kontrol kepada Raka. Penanggulangan agar sewaktu-waktu tumornya tidak kambuh dan menyebar ke beberapa tempat.
"Oke, aku ke sana, pretty girl," ucap Arka dengan seringai genitnya.
"Okey. I am waiting for you dude," ucap Asya kemudian dan menutup telefon sepihak.
Entah secepat apa Arka mengegas mobilnya, namun dua puluh menit kemudian ia telah sampai dan mengetuk pintu Asya seraya memberikan bunga lili yang dibelinya. Kurang cepat apa? Padahal jarak kantornya dengan apartment Asya bisa dibilang cukup jauh.
"Cepat sekali. Untukku? Terimakasih," ucap Asya sembari menerima bunga lili pemberian Arka. Ia mengambil vas bunga dan memasukkan tangkainya ke dalam lubang vas hingga tersusun rapi.
Asya tak lupa membuatkan teh untuk Arka. Mereka sedikit berbincang tentang kondisi Asya yang tak kunjung membaik. Untuk mempercepat waktu karena jam sebelas nanti Arka ada meeting dengan kliennya, maka mereka memutuskan untuk ke rumah sakit dengan segera.
Tok.tok.
"Masuk," gumam seseorang di balik pintu.
"Raka," pekik Asya sambil berlari kecil ke arah Raka lalu duduk di depan Raka dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Mau tak mau, Raka mencoba untu tersenyum kecil meski sesungguhnya ia harus menutup rasanya mulai saat ini.
"Jadwal kontrol ya, yaudah silakan berbaring," tanpa menunggu lama, Asya berbaring di ranjang itu. kebetulan pasien yang lain juga tidak kontrol. Raka mulai memeriksa detak jantung, suhu badan, tekanan darah, dan tak lupa ambil darah untuk dicek di lab nantinya.
"Kurasa sudah baik," ucap Raka sambil beranjak untuk duduk di kursinya lagi dan menuliskan resep. Asya yang tadi sumringah langsung menunjukkan ekspresi sedihnya.
"Kamu kenapa sih? Kok dari tadi cuek gitu? Kamu lupa kalau aku pacar kamu?!" sungut Asya dengan melipat tangannya di depan dada. Raka menghembuskan nafas kasar lalu berdiri dengan cepat. Rahangnya mengatup dan wajahnya menunjukkan ekspresi marah.
"Mulai sekarang, hubungan kita cuman dokter sama pasien. Kita putus!" putus Raka sepihak. Rasanya berat sekali mengucapkannya. Namun, jika tidak diucapkan, akan tambah beban juga.
Mendengar pernyataan itu, hati Asya mencelos. Ingin rasanya ia mati saat ini. Kehilangan orang yang dia cintai dalam waktu dekat. Bahkan mereka pacaran baru satu bulan. Waktu pacaran mereka seperti ABG yang masih labil akan cinta. Bahkan ABG pun bisa lebih lama dari pada itu.
"AP-APA?" ucap Asya gugup.
"Ya. Kita putus. Aku tidak mencintaimu lagi, sekarang pergilah, hasil pemeriksaanmu akan kukirim lewat e-mail." Ucap Raka lalu duduk di kursinya dan berpura-pura sibuk dengan berkasnya.
Asya masih mematung. Tidak bisa pergi. Air matanya menggelinang di pelupuk matanya dan terjatuh dengan mudahnya.
"Kukira, kamu adalah lelaki yang terbaik, ternyata, kamu lebih brengsek dari Arka! Lebih lebih lebih! Kamu tidak mengerti bagaimana jika wanita sudah marah, bukan?" Asya berbicara dengan suara yang bergetar menahan tangisnya supaya tidak meledak disitu. Asya tertawa hambar dan mirip sayatan pisau di hati Raka.
"Baiklah jika ini yang kamu mau, kita putus, aku menerimanya. Sama seperti saat aku menerimamu untuk menjadi kekasihku," lanjut Asya lalu beranjak pergi dari ruangan itu.
Arka yang menunggu di luar nampak bingung di awal. Namun, pada akhirnya dia mengerti apa yang membuat gadisnya hancur. Pasti karena sahabatnya. Ya, Arka mengerti sahabatnya pasti akan menepati janjinya. Namun, ia tak rela juga melihat gadisnya terluka.
Hatinya tambah sakit ketika berfikir bahwa ia menghancurkan kedua orang yang masih saling jatuh cinta. Ada kebahagiaan bertengger di hatinya, tapi hati kecilnya berbicara bahwa ia telah mengedepankan cinta ketimbang persahabatan. Padahal ia tahu, wanita di dunia ini tak hanya Asya. Namun, mengapa hanya Asya yang mampu memikat hatinya?
Ia berlari mengejar Asya. Asya sudah berada di parkiran menunggu mobil Arka dibuka. Ia masih menunduk dan menangis. Arka yang melihat segera menghampiri dan memeluk tubuh mungil yang kini lemah.
"Sabar ya, mungkin Raka bukan yang terbaik," ucap Arka.
"Aku tahu da bukan yang terbaik. Tapi dia yang ada dihatiku, dia tak mengerti," gumam Asya sembari sesenggukan di dada bidang Arka. Tak peduli kemeja Arka basah setelah ini. ia hanya ingin menangis dan terus menangis hingga ia bosan.
Terdengar bodoh? Memang. Menangis karena jatuh cinta adalah hal terbodoh yang pernah Asya lakukan. Namun, hatinya yang berbicara. Matanya yang menyaksikan, mulutnya yang berbicara, otaknya yang bekerja. Bahwa lelaki itu, sudah melumpuhkan benteng pertahanan Asya. Membuatnya tak bisa berpaling.
Di dalam perjalanan Asya berfikir. Tidak mungkinkah lelaki itu, Raka akan memutuskan hubungannya dengan sebelah pihak dan dengan waktu secepat itu kalau bukan karena suatu hal.
Ia memutar otak. Seketika tangisnya berhenti. mungkin ia harus melakukan sesuatu agar Raka kembali kepadanya. Meskipun semuanya terdengar mustahil.
***
MAKIN HARI MAKIN TAK TENTU ARAH :v
Votenya ya jangan cuman baca:3 capek nih:'v
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Terus Bersamamu
RomanceNasyaradana Almiradewi, seorang wanita muda yang merajut karirnya sebagai penulis. menorehkan sejuta prestasi dalam naungan hatinya yang tercurah pada sebuah tulisan. hingga ia mengidap suatu penyakit, dan hari-harinya begitu muram meski ada dua ora...