BAB 5

226 27 0
                                    

Aku menatap mentari yang memindahtangankan tugasnya kepada rembulan. Di bukit ini, aku duduk di sebuah kursi roda. Merenung dan memikirkan semua tentang hidupku yang entah akan berhenti kapan. Bagi orang sepertiku, hanya ada dua peluang, tambah parah lalu meninggal, atau operasi lalu sembuh.

Sampai saat ini, aku dihimbau untuk tetap ada di rumah sakit untuk sementara waktu sampai keadaan membaik dan operasi pengangkatan tumor siap dilaksanakan. Raka juga makin sibuk karena mengurus semua yang harus diperlukan saat operasi maupun pasca operasi.

Arka belum juga menunjukkan batang hidungnya. Ia juga tak menelfonku atau sekadar mengejarku saat aku berlari sampai sekarang. Aku juga bingung mengapa tiba-tiba sikapnya berbeda.

“Asya,” panggil seseorang. Kuputar tubuhku dan mendapati Arka sedang berdiri di sana dengan kemeja lusuh yang dipakainya dan wajah yang tak memiliki gairah hidup.

Aku masih diam. Sulit rasanya untuk berkata-kata. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu terluka. Aku hanya syok. Aku tidak ingin kehilanganmu. Kamu tahu? Saat aku mendengar kabar itu, rasanya aku ingin menyusulmu. Aku tidak ingin bila kamu meninggalkanku,” ucapnya dengan suara paraunya. Aku menitikkan air mata.

“Pergilah. Kalau kamu di sini, kamu akan membuatku merasa sangat berharga. Lebih baik, kamu menjauh saja dariku. Dari pada kamu harus merasakan kehilangan saat aku benar-benar tiada,” ucapku lalu menunduk dan menangis dalam diam. Ia bersimpuh di hadapanku dan menangis. Baru kali ini aku melihatnya kacau.

Ia, lelaki yang selalu tegar menghadapi segala cobaan yang ada dalam hidupnya. Namun, dia sepertinya sungguh mencintaiku. Menyayangiku, dan selalu ada caranya untuk membahagiakanku dalam semua keadaan. Aku bahagia memilikinya sebagai kakak sekaligus sahabat terbaik.

Namun, apakah aku tega untuk membiarkannya hanya merasakan cinta sebatas kakak adik padahal perilakunya padaku sudah sangat keterlaluan baiknya?

Aku tidak mengerti. Diantara kebimbangan yang luar biasa. Di satu sisi, aku ingin sekali memiliki Raka dan menjadikannya prioritas utama dalam hidupku. Tapi, aku juga tidak yakin. Di kala aku mencintainya, apakah Raka juga mencintaiku? Belum tentu.

Sementara Arka? Orang yang ada di dekatmu? Menyalurkan segala perasaannya? Mencoba menutupi perasaannya dalam diam? Mungkin itu sakit. Ayolah Asya, jangan muna. Batinku.

“Jangan nangis, aku akan baik-baik saja.” Ucapku meyakinkannya.

Ia beranjak dan mengahpus air matanya. Bernafas untuk menetralkan suaranya dan tertawa hambar. “Kamu harus sembuh!” perintahnya.

Aku tertawa. Melihatnya menginginkanku sembuh adalah dorongan untukku lagi. Meskipun, dibalik semuanya, aku merasa bersedih. Mengapa harus di tubuhkulah penyakit ini bertengger? Aku tidak ingin terjadi seperti itu.

Namun, takdir sudah berkata. Tuhan telah berkehendak. Jadilah maka jadi.

***

“Dokterr!” Arka memanggil dengan lantang. Raka yang ada di ruangannya segela mendongakkan kepala. Benar saja. Sedetik kemudian, Arka datang diambang pintu dengan nafas terengah-engah.

“Raka! Tolongin Asya bro! Dia pingsan waktu di taman belakang!” sebetulnya, Arka dan Raka memang bersahabat sejak kecil. Mereka sudah seperti saudara saja. Namun, mereka mulai berpisah ketika Arka melanjutkan pendidikannya di oxford dan Raka memilih untuk melanjutkannya di harvard.

Dengan sigap, Raka sudah berlari bahkan mendahului Arka di belakangnya. Mereka sama-sama panik mendengar orang yang sama-sama disukainya pergi dalam waktu yang cepat.

Ia memasang selang oksigen dan juga alat lain. Segera Raka dan rekan medis memindahkannya ke ICU. Arka sedari tadi tak bisa tenang. Raka yang ada di dalam, berusaha semaksimal mungkin agar wanitanya tidak pergi secepat itu. saat inilah, dia yang paling bisa diandalkan.

Percuma kamu lulusan harvard kalau kamu tidak bisa membuat orang yang kamu cintai bahagia. Batinnya dalam hati. Bulir keringat yang membasahi dahinya tak dihiraukannya. Memang, penyakit ini kadang membuat penderita menjadi sering tak sadarkan diri. Namun, Raka rasa, operasi pengangkatan harus segera dilakukan. Sebelum semuanya terlambat.

***

“Dunia begitu sempit.” Gumam Raka ketika mereka berdua, Raka dan Arka sedang berbincang di taman rumah sakit.

“Aku bisa bertemu kamu lagi.” Mereka akhirnya tertawa bersamaan.

“Kamu harus menyembuhkan wanita itu. Asya. Aku tidak ingin kehilangannya,” papar Arka sembari menatap Raka penuh permohonan.

“Aku juga akan berusaha. Aku akan berjuang demi dirinya,” ucap Raka optimis.

Dan saat itu pula mereka berfikir, apa kita menyukai orang yang sama?

“Dokter Raka, pasien siuman!” merea menoleh ke arah suster yang membawa papan rekam medik di tangannya.

Mereka berdua berlari. Menghampiri Asya yang terbaring lemah di ruang ICU. Sesampainya di sana, Raka hanya diam. Ia tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Sementara Arka, dia justru berbicara panjang lebar kepada Asya. Raka yang mendengarnya hanya bisa menyimpulkan bahwa sahabatnya mencintai wanitanya juga.

Rela? Tentu tidak. Tapi, saat ini ia hanya bisa mengalah. Mungkin, saat ini dirinya hanya dibutuhkan sebagai pengalir kesembuhan dari Tuhan. Tidak lebih. Raka hanya menatap kedua orang itu. Asya sesekali mengangguk dan tersenyum walau Raka yakin dalam hati bahwa Asya tidak akan bisa mendengar semua celotehan Arka yang terlontar dari mulutnya.

***

jangan lupa votenya yaa. membantu banget.

Aku Ingin Terus BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang