BAB 3

303 27 0
                                    

Aish. Kenapa  ini masih hari Minggu. Sumpah, aku tidak sabar untuk melihat tampangnya yang ternyata sudah benar-benar bisa menggeser jantungku meski masih berada di posisi kiri dadaku.

Kehidupanku setelah masuk rumah sakit kemarin lusa, hanyalah membuatku berhenti sehari untuk menulis. Sekarang, aku sudah membuka lembaran baru, menorehkan kata demi kata yang runtut menjadi sebuah naungan hati yang lembut.

Diriku lebur di dalamnya. Terkadang membuatku menghabiskan renunganku untuk dokter itu. wajah seriusnya, canda dibalik gelarnya, dan aku merasa bahagia bisa bertemu, meskipun mungkin aku tidak bisa bersatu dengannya.

Ting. Bunyi pesan masuk di ponselku. Aku beranjak untuk sekadar melihat siapa yang menghubungiku. Yah, mungkin untuk seseorang yang tidak pernah pacaran sepertiku hanyalah angan bila orang tampan akan menghubungiku kecuali Arka. Kurasa, hanya SMS dari operator saja.

Kugeser layar ponselku. Mendapati nomor tak bernama di sana. kubuka pesan itu dan membacanya dengan seksama.

Hai. Udah sembuh? Raka.

Raka? Ini teror dari temanku atau memang benar Raka? Sungguh, aku bertanya-tanya dalam benakku. Apa mungkin ia mengetahui nomorku?

Tetapi, kemarin saja, dia berhasil mengerti namaku. Ya, dia dokterku. Tentu saja tahu semua tentangku seperti yang dikatakannya. Kukira Arka, ternyata dokter itu. Ngomong-ngomong, Arka di mana ya? Kok aku tidak melihatnya atau mendengar suaranya yang selalu menelfonku setiap pagi.

Sudah. Terima kasih atas bantuanmu, Dok..

Sudah menjadi kewajibanku.Kamu sibuk?

Hanya sedang menyelesaikan bukuku yang kedua.

Semangat ya! Jangan lupa istirahat kalau capek. Jangan diforsir, dan.. Aku akan menjadi pembeli pertama untuk bukumu!

Terima kasih dokter..

Kubaca ulang pesan di ponselku. Membuat bibirku tersungging. Aku sangat merasa bahagia. Aku mengangkup wajahku di kedua telapak tanganku dan tertawa di sana. Sudah seperti orang gila, rupanya.

Aku berjalan menuju balkon kamarku. Memandangi jalanan yang tak pernah lengang. Hatiku, rasanya sudah tidak selengang dulu. Seperti ada yang mengisi meskipun aku tidak yakin dia akan menyukaiku juga seperti aku menyukainya.

Kepalaku menoleh ke arah belakang dan mendapati laptopku masih menyala. Memanggilku untuk segera menyentuhnya kembali. Aku berbalik dan mulai duduk di kursiku. Jari lentikku mulai memencet huruf demi huruf. Dua jam kuhabiskan untuk menulis dan aku mendapatkan satu bab lagi yakni bab 6.

Senyuman yang menghantarkanku pada kebahagiaan. Bahagia yang sederhana. Dikala mata ini tak bisa jauh darinya. Dengannya, aku merasa nyaman. Aku mencintainya. Aku tidak ingin jauh darinya, sungguh.

Kurasa, menulis yang sesuai dengan realita lebih mudah dan menyenangkan ketimbang membuat cerita yang kuada-ada dengan anganku. Bukuku yang pertama memang bagus. Hanya saja, tak sebagus nyatanya. Kadang, aku suka tertawa sendiri ketika melihat tulisanku yang menyebalkan dan begitu romantis.

Aku pernah berfikir. Aku bisa membuat cerita paling romantis. Namun, mengapa kehidupan nyataku tidak?

***

Senin. Tok tok..

Kuketuk pintu yang sedari tadi tertutup. Sebenarnya, aku sudah berdiri di depan pintu itu lebih dari lima menit. Dan, aku bingung harus apa. Aku hanya diam dan berfikir. Yah.Kini, aku seperti ABG jatuh cinta, bukan? Padahal, aku hanya ingin kontrol ke dokterku.

Aku Ingin Terus BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang