BAB 4

241 29 2
                                    

“Sakit tumor otak stadium dua.”

Suasana hening menyelimuti kami. Sedetik kemudian, aku mendengar sebuah geraman yang keluar dari mulutnya. Membuatku bergidik ngeri mendengarnya.

“Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Mengapa kamu harus sakit?!” teriaknya dengan nada suara yang meninggi.

Hatiku mencelos. Siapa juga yang mau sakit. Mengapa Raka yang kukenal tidak seperti yang dulu kukenal? Mengapa dia tiba-tiba seperti itu?

“Jadi kamu tidak mau berteman dengan orang sakit? Awalnya, kukira kamu teman yang baik. Ternyata sama saja.” Gumamku lalu beranjak pergi dari ruanganku. Perduli setan jika dia tiba-tiba mengambil barangku.

Aku berlari secepat mungkin. Satu-satunya tempat yang ingin kutuju sekarang hanyalah rumah sakit tempat Raka berada. Di saat Arka kubutuhkan, aku justru tak melihat ketulusan yang biasanya ia berikan.

Kini, berdirilah aku di depan pintu yang kemarin kubuka dan kusaksikan berbagai moment romantis bersama Raka. Seutas senyum mengembang di bibirku. Tanpa mengetuk, kubuka pintu secara perlahan. Dan saat itulah, rasanya tubuhku tak ada lagi yang bisa menopang.

Aku melihat dua orang sedang berpelukan di depanku. Raka, dan seorang wanita muda cantik dan manis. Wanita itu nyaman sekali berada di pelukan pria yang kudambakan. Jadi, ciuman itu tak ada artinya sama sekali. Ciumannya waktu itu, tidak mengisyaratkan apapun. Sialan! Raka Sial! Arka Sial! Semua laki-laki di dunia ini sama.

Saat aku menatap Arka yang tadi menyakiti hatiku, aku tidak sesakit ini. Namun, saat melihat Raka berpelukan dengan wanita lain, aku cemburu. Ya, aku sangat cemburu. Aku menyayanginya. Tapi sayang, aku bukan siapa-siapa baginya. Aku hanyalah angin lalu yang bisa menghembus dan melewatinya. Lagi pula, sebentar lagi mungkin aku akan meninggalkan dunia ini. Tidak akan melihat wajah-wajah brengsek itu lagi.

“Asya?” gumamnya sambil melepaskan pelukan. Saat itu pula aku mendongak dan tersenyum tipis mengisyaratkan kesopananku padanya.

“Maaf mengganggu,” ucapku lalu pergi.

Sebetulnya, aku tak tahu lagi harus pergi kemana. Pergi kepada orang tuaku hanya akan menambah beban orang tuaku yang usianya mulai menua. Aku pun tak ingin membuat keduanya makin tersiksa. Rasanya sedih apabila orang tua mengetahui penyakitku dan juga masalahku yang ini. Aku pasti bisa mengatasi semuanya.

Aku merasakan kepalaku sangat sakit. Sakit sekali. Dan aku menunduk, terdapat cairan merah amis keluar dari lubang hidungku. Pandanganku emngabur. Keseimbanganku menurun, setelah itu, aku tidak melihat apapun.

Hal yang ingin aku lihat pertama kali adalah Raka yang tengah bersamaku. Semoga, yang kualami tadi, semuanya hanya mimpi dan tidak terjadi sepenuhnya. Aku ingin, apabila aku bangun nanti, aku melihat orang-orang yang kusayang.

Namun, bila aku tidak melihatnya, itupun tak masalah. Aku akan terima dengan keputusan Tuhan yang mengambilku. Aku tidak akan menyalahkan siapapun. Tidak akan.

***

“Tumornya makin parah. Aku menyarankan bahwa sebaiknya operasi pengangkatan dipercepat,” ucap seseorang yang kukenal. Seperti suara Raka. Aku membuka mata. Sedetik kemudian, suara langkah kaki yang terdengar di telingaku mendekat.

“Udah sadar?” aku masih mengerjap. Bingung dengan apa yang terjadi. Aku lupa kejadian apa yang menimpaku. Aku susah berkata-kata. Sedetik kemudian, dia tersenyum.

“Maafin aku ya, soal itu. Aku bisa jelasin, dia sepupu aku—“

Hoekkk. Tiba-tiba ada gejolak dari dalam perutku. Mual dan ingin muntah. Aku hanya mengeluarkan cairan bening karena aku belum makan apapun. Raka pun memanggil suster untuk mengambilkan air hangat. Raka masih setia di depanku. Memijit pelan tengkukku dan mengisyaratkanku untuk mengeluarkan semuanya.

Setelah ia membersihkan mulutku dan lantai di bawahku, hatiku merasa tersentuh dengan sikapnya. Lagi pula, aku sudah mendengar bahwa dia tidak pacaran. Ia sigap sekali menyiapkan segala keperluanku. Dengan melihatnya seperti itu, aku justru melihat Arka. Jadi, dia benar-benar tidak mau lagi berteman dengan orang yang penyakitan sepertiku?

“Minum dulu ya, biar cairannya keganti,” ucapnya lembut sambil mengelus rambutku pelan.

Aku mengangguk dan mulai meneguk sampai habis. “Penyakitmu memang kadang membuatmu mual, muntah, mimisan, pandangan mengabur, dan sakit kepala. Kalau kondisimu sudah memungkinkan, aku bisa segera mengadakan operasi pengangkatan tumor.”

Mataku berbinar. “Benarkah?” tanyaku.

Dia mengangguk dan tersenyum. Aku sangat bersyukur bisa segera disembuhkan dari penyakit ini. Namun, aku juga belum bisa semudah itu mempercayai bahwa aku akan terus hidup. Tuhan yang berhak atas semuanya. Tuhan yang akan menentukan. Apakah aku masih layak hidup, atau pergi meninggalkan semua masalahku dengan cuma-cuma.

Tetapi, saat berfikir aku akan meninggalkan semuanya, aku merasa sedih. Itu tandanya, aku tidak bisa lagi sekadar bermimpi untuk bersama orang yang aku cintai. Membina sebuah keluarga kecil dengan anak-anak kami yang lucu. Mungkin, saat ini, aku hanya bisa mengubur angan itu. Aku harus fokus dengan penyembuhanku saat ini.

 ***

Jangan lupa votenya.

Aku Ingin Terus BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang