Wajahnya pucat pasi. Rambutnya berantakan seperti singa yang terbangun dari tidurnya. Ia menjelajahi ruangannya. Berputar lalu kembali lagi. Terlihat seperti orang yang linglung dan frustasi. Memang!
Semenjak ia putus dengan Raka, ia merasa sepi. Ia tak memiliki gairah untuk hidup. Sesekali ia melamun, sesekali ia menangis, kemudian sampai tertidur. Ia makan tetap tiga kali sehari. Namun, ia terlalu banyak pikiran sehingga makanan yang masuk ke mulutnya seperti tak menjadi daging.
Miris? Iya. Kasihan? Tentu. Mengenaskan? Sangat. Apalagi? Ia memang seperti mayat hidup sekarang. Cinta kadang bisa membuat seseorang menjadi sepertinya. Ia menuliskan buku keduanya dengan semangat. Namun, setelah itu kadang ia menangis karena menuliskan kisah hidupnya sendiri.
Arka sering mengunjunginya. Tetapi, tak jarang juga ia dicampakkan karena Asya terlihat tidak ingin diganggu. Seminggu, dua minggu, sampai tiga minggu. Ia tidak melakukan kontrol rutin perminggunya guna menghindari dokter brengsek itu.
"Asya?" ketukan pintu terdengar. Asya beranjak dari duduknya yang otomatis membuyarkan lamunan tak bergunanya tiap pagi.
Asya berjalan malas ke arah pintu dan melihat sosok tubuh tegap yang biasa ke apartmennya ketika ia merasa sepi meskipun tak pernahpun lelaki ini meramaikan dengan cara apapun. Semua yang Arka usahakan untuk meramaikan suasana, selalu ditanggapi dingin oleh gadis itu.
"Lupakan dia, sudah waktunya mencari yang baru. Kau juga tak pernah kontrol." Ucap Arka membuat Asya mematung. "Kamu tidak perlu menangisi orang yang tidak memperdulikanmu, kau jangan bodoh."
Asya masih diam. Mengolah kalimat demi kalimat yang Arka berikan. Bahkan, ia sekarang berfikir dengan otaknya yang mulai ngelantur.
Raka dimana? Raka dengan siapa? Apakah sudah memiliki penggantiku? Apakah cantik? Kenapa dia meninggalkanku dengan begitu cepatnya?
"Kurasa terlalu sulit menasihatimu," gumam Arka yang masih terdengar jelas di telinga Asya.
"Memang sulit untuk melupakan. Tapi, aku akan berusaha." Ucap Asya setengah tak yakin.
Arka mendesah pelan sembari beranjak menuju dapurnya. Melihat dapur yang masih bersih namun agak aneh penataannya.
"Kamu mungkin sudah terlalu gila sampai dapurmu menjadi-"
"Ya, aku bahkan sudah berfikir aku ada di alam lain," celetuk Asya ceplas-ceplos.
"Kontrol bicaramu." Tegas Arka.
"Ya, maaf." Ucap Asya pelan.
Arka membereskan dapur Asya yang terlihat aneh. Penataannya tidak sesuai. Piring terletak di dekat cucian, gelas tidak terletak di rak-rakan melainkan ada di tumpukan teh yang biasanya dia buat setiap pagi.
"Kuantar kamu kontrol." Ucap Arka.
"Untuk apa? Aku sudah sehat. Apa kamu sengaja untuk membuatku bertemu dengan dokter yang brengsek itu?" sengit Asya. Ia kini duduk di kursi makannya dan memperhatikan Arka yang masih sibuk menata ulang dapurnya.
"Kamu memang sudah sehat. Namun, aku takut bahwa kondisimu buruk. Kau terlihat pucat dan kurus." Ucap Arka.
"Tidak."
"Kuantar atau kucium kau!"
"Ah terserahlah, " ucap Asya akhirnya.
Arka tersenyum miring. Sebenarnya, ia tak rela Asya bertemu dengan dokter itu. Namun, melihat Asya yang keadaannya seperti ini, membuatnya menjadi makin bersalah lagi.
***
"Permisi."
"Masuk."
Dokter itu mendongak dan agak kaget. Namun, setelah itu ia kembali tersenyum tipis dan memasang wajah sebiasa mungkin meskipun itu sangatlah mustahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Terus Bersamamu
RomanceNasyaradana Almiradewi, seorang wanita muda yang merajut karirnya sebagai penulis. menorehkan sejuta prestasi dalam naungan hatinya yang tercurah pada sebuah tulisan. hingga ia mengidap suatu penyakit, dan hari-harinya begitu muram meski ada dua ora...