Gerimis pagi bekas hujan deras yang mengguyur sejak semalam masih saja turun. Matahari seakan enggan menampakan warnanya hingga langit mendung berwarna kelabu menutupi salah satu bagian bumi itu. Jalanan yang terlihat licin mengharuskan semua orang yang berjalan kaki maupun mereka yang menggunakan kendaraan harus ekstra berhati-hati agar tidak tergelincir.
Sebuah mobil berwarna putih berhenti tidak jauh dari gerbang salah satu sekolah. Saat pintu belakang mobil hendak terbuka, supir yang mengantar dengan cepat menahan si penumpang.
"Tunggu nona, pakai dulu payungnya." Katanya sambil menyodorkan sebuah payung berwarna hitam ke arah gadis di belakangnya.
Ia tidak bisa memberikan payung itu dari luar karena jangankan memayungi, dia turun untuk sekedar membukakan mobil saja tidak boleh.
Namun gadis itu hanya memandang payung tadi datar, "Cuma gerimis." Tolaknya singkat lalu memasang tudung hoodie-nya ke kepala. Ia membuka pintu belakang mobil dan keluar dari sana mengabaikan suara supir yang terus memanggilnya dari dalam mobil.
Gadis itu berjalan dengan langkah tenang, berbeda dengan orang lain yang terlihat terburu-buru untuk menghindari gerimis. Dia tidak peduli meskipun hanya dia yang tidak memakai payung sendiri.
Tepat ketika langkah kakinya sampai di koridor lantai tiga, hujan deras kembali mengguyur seperti semalam. Ia menatap ke arah luar dimana beberapa orang yang masih di bawah langsung berlarian mencari tempat berteduh.
Pagi ini rasanya ia sedikit berangkat lebih awal daripada biasanya. Melihat sepinya sekolah saat ini, sepertinya tebakannya benar.
Bukannya suasana seperti ini sangat pas untuk tidur?
Gadis itu berdecak. Gara-gara ibunya mengomel, mau tidak mau dia harus berangkat. Padahal tidak berangkat juga tidak masalah.
Ia memasang wireless earphone berwarna putih ke telinga, mendengarkan salah satu lagu sambil berjalan tenang.
Suara derap langkah kaki berlarian terdengar di tengah koridor. Suasana yang masih terlalu sepi dan tidak adanya aktivitas membuat langkah kaki itu terdengar begitu menggema di sepanjang koridor lantai tiga.
"Ocha!"
Sebuah suara terdengar bersamaan dengan langkah kakinya yang masih berlari. Namun sosok yang dipanggilnya terus berjalan tanpa sama sekali berniat berhenti ataupun berbalik.
"AVOSHA LOVATA ALRASCH!!!"
Untuk kedua kalinya panggilan itu terdengar tiga kali lebih keras, sayangnya itu tidak berpengaruh terhadap apapun. Gadis yang dipanggil Avosha itu tetap tidak menghiraukan dan terus berjalan. Hingga orang yang sejak tadi berlarian akhirnya berhasil menyusul, berhenti dan berhasil menghalangi jalannya.
"WOY BUDEK!" Kata pertama yang dia lontarkan dengan nafas tidak beraturan. "Gue panggil, nyaut dikit kek!"
Sosok itu masih mengatur nafasnya dengan membungkuk dan bertumpu pada lutut. Berlarian dari koridor lantai pertama sampai lantai tiga ternyata menguras tenaganya. Ia heran, kenapa gadis didepannya ini bisa berjalan secepat itu.
Ocha melepas wireless earphone miliknya dan menatap orang itu datar.
Detik berikutnya orang itu berdiri sambil berdecak, "Pantesan budek, telinganya disumpel." Cibirnya.
"Eh tapi ya ampun, ini beneran lo? Mata gue gak salah liat nih?" Tatapannya menelisik Ocha, meyakinkan apa yang dilihatnya saat ini tidaklah salah.
Aluna Zoya Lakeisha, gadis itu memandang Ocha dengan tatapan tidak percaya.
"Minggir." Balas Ocha dingin.
Seketika Luna merubah mimik wajah tidak percayanya dengan raut malas. "Alusin dikit nada bicara lo bisa? Masih pagi ya, jangan buat gue naik darah."
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM : Epoch Of Avosha
General FictionAvosha itu dingin, Kenan itu sinting. Perbedaan yang signifikan tapi bertemu karena kesengajaan. Jika semua orang mengatakan bahwa Avosha adalah gadis sedingin patung es yang tidak memiliki darah di tubuhnya, nyatanya Kenan lebih keras daripada bo...