"Widih, ada yang baru masuk nehh..." Suara Luna menggema membuat beberapa temannya sampai menoleh.
"Dari mana aja l?" Tanya Luna dengan wajah mengejek.
Sebenarnya Luna sudah tahu darimana Ocha sejak dia baru masuk kelas setelah bel istirahat berbunyi sekitar lima menit yang lalu.
"Oh iya, lupa gue. Abis dihukum ya sayang ya," Ejeknya senang.
Tanpa membalas ejekan Luna, Ocha mengambil duduk di bangkunya dengan santai.
Dia memang baru masuk setelah jam pelajaran kedua selesai. Iya, pada dasarnya dia tadi pergi duluan dari perpustakaan. Tapi bukan berarti Ocha langsung masuk ke kelas.
Oh, jelas tidak sobat.
Terlalu rajin itu tidak bagus.
Prinsip Ocha kan karena sudah terlambat, ya sudah terlambatkan saja sekalian. Jadi Ocha ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan pergi ke rooftop sekolah dan melanjutkan tidur di sana.
Kebetulan di sana ada kasur lantai entah milik siapa yang seperti menjadi setan dengan mendukung Ocha untuk tidur.
"Jadi kali ini dihukum apa lagi lo sama guru piket?"
Ocha menatap papan tulis yang masih berisikan coretan rumus-rumus fisika di depan sana. Matanya fokus melihat coretan itu untuk menghafalnya dengan otak.
Ingatan gadis itu memang terbilang lebih dari cukup dalam menghafal hal-hal yang dilihat dan dibacanya.Bahkan Luna terkadang mengaku iri dengan otak Ocha.
Luna yang melihat Ocha tengah serius menatap papan tulis segera mengambil buku tulis miliknya dan menyodorkan pada gadis itu.
"Baca punya gue. Yang di papan tulis udah ada yang di hapus tadi," Jelasnya saat Ocha menaikan satu alisnya tanda bertanya.
"Ada PR juga buat minggu depan," Tambahnya. "Karena gue udah nulis soal, tinggal lo yang ngerjaiin yak. Gue yang nyalin."
Nah itu masalahnya.
Luna itu cuma rajin mencatat. Tapi kalau urusan tugas-menugas dia serahkan sama Ocha.
Katanya simbiosis mutualan lah.
Ocha meraih buku Luna dan mulai membuka tiga lembar terakhir. Luna memang cukup rajin untuk menulis sesuatu. Sangat lengkap dan rinci.
Saking rajinnya, bahkan terkadang perkataan guru baru memberi salam juga dicatat oleh Luna.
Tidak seperti Ocha yang menulis secara garis besar saja. Itu juga kalau mau.
"Oh iya. Tadi juga guru pada nanyaiin lo kemana waktu presensi,"
Luna geregetan saat tidak ada respon, "Tanya kek, terus lo jawab apa? Gitu."
"Terus lo jawab apa?" Ulang Ocha malas.
Luna tersenyum puas, "Gue jawab lo bolos lah. Apa lagi. Thanks me later."
Ya kan. Dibaikin ngelunjak.
"Nah, karena lo udah pinjem buku gue, sekarang ceritaiin lo dihukum apa tadi?"
Dasar perhitungan. Ocha tahu kalau berurusan dengan Luna tidak pernah gratis.
"Perpustakaan." Jawabnya singkat.
Kening Luna bertaut, "Kok perpus sih? Gampang banget. Kenapa engga yang lain? Suruh tebang pohon kek, jalan sambil kayang kek, apa kek. Yang berat gitu. Masa gampang banget kan gak mungkin. Guru-guru piket kan pada punya dendam sama lo. Gak mungkin seenak itu. Mana di perpus wifi kenceng, ada AC. Jelas betah lo di sana. Gue juga mau kalau hukumannya gampang kayak gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM : Epoch Of Avosha
General FictionAvosha itu dingin, Kenan itu sinting. Perbedaan yang signifikan tapi bertemu karena kesengajaan. Jika semua orang mengatakan bahwa Avosha adalah gadis sedingin patung es yang tidak memiliki darah di tubuhnya, nyatanya Kenan lebih keras daripada bo...