Katanya salah satu cara terbaik menghilangkan suntuk adalah dengan cara keluar dari kelas dan menghirup udara segar. Karena itulah Ocha berniat untuk memilih pergi dari sana dan berkeliling entah kemana untuk menjernihkan pikiran.
Tapi baru saja ia mau berdiri, Luna yang tengah tertidur di bangku seberangnya langsung terbangun kaget. Padahal sebelumnya gadis itu sempat mendengkur.
"Lo mau kemana?!" Bisiknya setengah sadar.
Ocha tidak menjawab, ia kembali berniat memundurkan kursinya untuk berdiri.
"Mau cabut ya? Gue ikut!" Katanya masih setengah berbisik. Ocha rasa nyawa Luna sudah hampir kembali setengahnya.
"Lo diem artinya setuju." Sambungnya.
Ocha menghela, ia heran kenapa manusia itu selalu mengikutinya.
"Gak." Jawabnya singkat.
"Ah. Gak asik lo. Pokoknya gue ikut. Ya ya ya? Kan lo tau sendiri, kalau gue ditinggal terus gue–"
"Yang di belakang bisa diam tidak?!"
Tiba-tiba suara pak Hilder yang tengah menuliskan rumus di papan tulis menggema. Tanpa harus membalikan badan, guru killer itu sudah mampu membuat seisi kelas menjadi tegang.
Ocha menghela. Niat mau pergi baik-baik malah jadi terbalik. Sedangkan Luna kini mengawasi gerak-gerik Ocha, berjaga-jaga siapa tahu mau pergi.
Benar saja. Baru lima menit berlalu, Ocha kembali memundurkan kursinya membuat Luna langsung siaga menahannya.
"Bareng!"
Tanpa sadar suara Luna bukan sebuah bisikan, melainkan hampir mirip dengan teriakan. Seluruh pasang mata kini tertuju pada dua bangku di pojok belakang dengan kaget dan menatap seperti,
'helowww, lo gila?!'
Tak! Tak! Tak!
Suara spidol yang dipukul ke arah papan tulis menimbulkan bunyi yang cukup mengusik mereka.
"Kamu yang keluar, atau saya yang keluar?!" Kata pak Hilder dengan tajam. Ia membalikan badan dan mendapati dua orang yang mengacaukan jam mengajarnya. "Dua orang. Silakan keluar!"
Tapi keduanya tidak berkutik, membuat pak Hilder kembali berbicara. "Ini waktunya belajar. Kalau mau buat ribut silakan di pasar, jangan ganggu yang lain! Memangnya hanya kalian yang ada di sini?!" Katanya.
Padahal murid lain sebenarnya juga biasa saja dan tidak terganggu. Memang terkadang guru mengambil kesimpulan sendiri dengan mengatasnamakan murid.
"Saya hitung sampai tiga, kalian yang keluar atau saya yang keluar!" Ancamnya lagi, "Satu.. dua.. ti–"
"Oke pak, kita aja yang kel–"
"Saya yang keluar."
Luna melotot ke arah sumber suara. Bukan 'kita', tapi hanya 'saya' . Dan itu artinya hanya Ocha yang pergi.
Bocah sialan.
Tanpa sempat Luna memprotes, Ocha sudah pergi dengan santainya ke arah pintu keluar. Tidak ada ekspresi malu ataupun keberatan. Ocha keluar dengan senang hati, karena memang ini tujuan awalnya.
Terlepas dari keluar secara baik-baik ataupun dikeluarkan dari kelas, Ocha tidak peduli. Toh, sama-sama keluar judulnya.
Setelah pergi begitu saja meninggalkan Luna yang mengutuknya dalam hati. Ocha yakin, setelah kebebasan yang tidak seberapa ini selesai, gendang telinganya akan berdengung mendengar ocehan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOKROM : Epoch Of Avosha
Aktuelle LiteraturAvosha itu dingin, Kenan itu sinting. Perbedaan yang signifikan tapi bertemu karena kesengajaan. Jika semua orang mengatakan bahwa Avosha adalah gadis sedingin patung es yang tidak memiliki darah di tubuhnya, nyatanya Kenan lebih keras daripada bo...