On That Rainy Day

1.3K 204 1
                                        

Dingin.

Satu kata selalu terulang di pikiran gadis itu. Setiap bagian tubuhnya yang basah gemetar menahan terpaan semilir angin di tengah hujan deras.

Lengannya semakin rapat memeluk tubuhnya sendiri. Dia mencoba menyembunyikan suatu bungkusan di tangannya, mencoba melindunginya dari tetesan air hujan.

Isi bungkusan berwarna kecoklatan itu adalah buku-buku untuk anak-anak di panti yang ia beli dengan uang hasil jerih payahnya bekerja.

Walau harganya terjangkau karena itu buku bekas, itu baik-baik saja. Catherine yakin Lucas dan yang lainnya akan tetap senang.

Sayanya ketika masih berjalan, hujan deras tiba-tiba turun begitu saja, awalnya Catherine meneduh selama hampir satu jam..

Namun, hujan tak kunjung berhenti, dia begitu tidak sabar dan Catherine lebih tahu Lucas dan lainnya juga pastinya begitu, jadi dia akhirnya memilih menerobos tetesan-tetesan air hujan.

"Aku harus melindungi buku ini agar tidak basah...," batin Catherine

Gadis itu mendesah kasar, sempat berhenti berkali-kali di tengah hujan karena ragu. Catherine menatap ke bawah seolah memikirkan sesuatu.

Tiba-tiba sepasang langkah kaki berhenti tepat di depannya. "Nona Catherine?"

Catherine terkejut dan refleks mendongak. Kini dia tidak merasa tetesan hujan jatuh ke tubuhnya.

Rambut pirang dengan mata scarlet itu tertangkap oleh mata biru Catherine.

"Eh?" Catherine langsung tersadar. "Tuan William?"

Pria itu, William tersenyum ketika Catherine menyebut namanya. Sudah lama sekali sejak kedatangan William ke panti asuhan. Walaupun William adalah bangsawan, dia bisa mudah akrab dengan anak-anak panti.

Begitu juga Catherine, gadis itu akhirnya mengetahui bahwa pria itu adalah seorang matematikawan. Catherine langsung kagum padanya, mendapat gelar sebagus itu di usia muda, gadis itu tidak bisa menahan ekspresi penasaran dan kekagumannya.

Itu membuat William heran, "Dibandingkan dengan anak-anak lain, sepertinya nona lebih mengetahui tentang pendidikan, ya?"

Mendengar ini, Catherine hanya bisa menjawab gugup, "Uhm ya, biasanya aku yang mengajari dan membacakan buku untuk anak-anak. Sebenarnya tidak banyak yang aku ketahui, tapi ayahku dulunya seorang guru."

"Oh? Ternyata begitu, pasti ayahmu mengajarimu banyak hal ya, nona," ucap William.

Percakapan mereka berlanjut dan sejak saat itu mereka mulai semakin akrab apalagi jika mengobrol soal sains dan sastra.

"Nona, bukankah lebih baik kau berteduh? Kenapa kau menerobos hujan sampai seperti ini?" tanya pemuda berambut pirang itu masih memengangi payung agar mereka berdua tidak kehujanan.

Ditanyai tentang hal itu, Catherine hanya bisa tersenyum malu tidak bisa membalas tatapan pria itu lagi.

"Mau bagaimana lagi, Tuan? Saya hanya ingin cepat-cepat pulang."

"Anak-anak itu pasti menunggumu ya?" tebak William lalu melirik bungkusan yang dipegang erat Catherine. "Lebih tepatnya menunggu buku-buku yang kamu bawa untuk mereka."

Catherine berkedip, "Huh?? Tuan, bagaimana kau bisa tau—"

"Aku hanya menebak saja~" William tersenyum hangat. Mata William melirik ke arah jalan dan akhirnya berkata, "Kupikir kau bisa pulang menggunakan payungku."

Catherine menjadi bingung ketika tangan hangat itu memberikan payung kepadanya dan memaksa tangannya untuk menggenggam gagang payung dengan erat.

"Eh? Lalu Tuan William—" Belum selesai dengan kata-katanya, Catherine akhrinya mendengar derap kaki kuda yang akhirnya berhenti tepat di dekat dirinya dan Tuan William.

Pintu kereta kuda terbuka menampakkan seorang pria bangsawan di dalamnya.

"Kakak."

"Will."

Mata hijau zamrud itu akhirnya mengarah pada Catherine yang menatap dirinya dan William sambil memegang payung. Catherine berkedip terkejut dan buru-buru tersenyum tipis dengan canggung.

Untungnya pria itu membalas senyumannya.

William menoleh dan tersenyum, "Nona Catherine, anda bisa menyimpan payungnya. Sampai jumpa."

Itulah ucapan terakhir William yang mengakhiri pertemuan mereka di sore itu.

Catherine masih menatap kereta kuda yang menjauh di tengah hujan. Pada akhirnya gadis itu melangkah menerobos hujan dengan payung menuju panti sambil berpikir.

Entah kenapa hatinya tergelitik rasa penasaran dan juga perasaan aneh lainnya ketika pertama kali bersitatap dengan iris mata zamrud itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc.

encounter.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang